Monday 17 May 2010

Mengais Beras Menyambung Hidup

Yang dianggap tak berarti kerap berarti segalanya. Butiran beras tertindih ban truk dan tercium haring adalah harta berharga yang dipunguti Tasiyem dari subuh hingga maghrib tiba di pasar kumuh itu.

Musim tanam padi di desa Gintungreja. Gandrungmangu, Cilacap telah usai. Benih-benih padi di sawah kini tampak kian menjulang. Hijau dan melambai terkena angin. Bentuknya mirip ilalang. Seluruh lahan bagaikan hamparan karpet hijau yang nyaman. Menarik hati siapa saja yang melihatnya.

Di sebuah beranda rumah sederhana di kawasan itu, seorang wanita tampak duduk termangu. Dialah Tasiyem. Ia teringat ajakan temannya. “Yem, ayo melu aku ning Jakarta,” ajak Djiah. “Jakarta? Lah, aku bisa kerja apa ning Jakarta?” Tanya Tasiyem penasaran. “Nggolet beras. Lumayan nggo tambahan,” ucap Djiah meyakinkan.

Ajakah Djiah sahabatnya begitu terngiang di telinga Tasiyem. Awaslnya ia ragu, haruskah ia pergi ke Jakarta atau tinggal di kampong saja. Ia tak punya keterampilan apa-apa. Umurnya pun tak lagi muda, sudah 43 tahun saat itu. Apakah anak-anaknya akan mengizinkannya pergi? Lalu seandainya ia ke Jakarta, ia harus tinggal di mana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja berkecamuk dalam pikirannya. Di satu sisi ia ragu untuk ke Jakarta, tapi di sisi lain ia ingin membantu perekonomian keluarganya.

Sejak suaminya meninggal, perekonomian keluarganya hanya bertopang pada sawah seluas 125 meter. Padahal ongkos produksi bertani terkadang tak sebanding dengan hasilnya. Harga pupuk yang selangit tak berimbang dengan harga jual gabahnya yang rendah. Belum lagi persoalan irigasi yang terkadang jadi kendala. Lahannya termasuk sawah tadah hujan. Kalau tak ada hujan maka sawah tak dapat tergarap. Ongkos untuk mengairi sawahnya begitu mahal.

Pikirannya kembali terbawa ke masa lalu. Kenangan bersama suaminya kini muncul satu persatu dalam ingatannya. Hari masih pagi waktu itu. Sinar matahari menerobos dedaunan di depan rumahnya yang sederhana. Dengan senyum sumringah sesosok laki-laki keluar dari dalam rumah joglo kecil itu. Tangannya menenteng beberapa buku pelajaran agama. Dandanannya sederhana namun rapi. Dialah Darusman, suami Tasiyem. Pagi itu seperti hari-hari biasanya, ia akan pergi ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) tempat ia biasa mengajar.

Selain mengajar di MI, tiap sore hari diisinya dengan member tausiyah di masjid dekat rumahnya. Saat-saat bersamanya merupakan kenangan yang tak terlupakan bagi Tasiyem. Namun, kini semuanya telah berubah. Tak terasa beberapa butir air mata membasahi pipinya yang mulai keriput.

Tasiyem tersadar. Itu hanyalah kenangan. Suaminya kini telah tiada. Ia meninggalkan dunia fana ini ketika Tasiyem mengandung anak keempatnya. Saat itu kandungannya baru berusia delapan bulan. Ekonomi keluarganyapun perlahan melemah usai kematian suaminya.

Kesedihan yang ia rasakan karena kematian suaminya berdampak bagi kandungan Tasiyem. Ia menjadi sering sakit. Akibatnya kondisi kandungannya terganggu. Karena seringnya ia berobat dan mendapat suntikan (injeksi), ketika anak keempatnya lahir diberi nama Jeksinatun. Nama Jeksinatun sendiri terinspirasi dari kata injeksi.

Setelah beberapa hari berpikir, Tasiyem akhirnya membuat keputusan besar dalam hidupnya. Setiap selesai musim tanam, ia akan ke Jakarta. Dengan keberanian yang dikumpulkan, ia menyampaikan keinginannya itu kepada empat orang anaknya.

Suryati, Suryatun, Surmiyati dan Jeksinatun awalnya menentang keras keinginan ibunya itu. Mereka khawatir dengan keadaan Tasiyem kalau sampai berada jauh, apalagi Jakarta. Ia tak punya sanak family di sana.

Namun, tekad Tasiyem begitu membara. Ia tak ingin menyusahkan keempat anaknya. Mumpung ia masih sanggup bekerja, ia ingin membantu mereka. Lagian dirinya tak akan lama tinggal di sana. Hanya satu atau dua bulan saja. Menjelang masa panen datang, dia akan kembali ke kampung. Ia ingin menjadi orang yang berguna. Ia ingin membahagiakan anak serta cucu-cucunya.

Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya berangkatlah Tasiyem ke Jakarta. Bersama Djiah temannya, Tasiyem kemudian tinggal di sebuah kontrakan kecil di dekat jembatan di daerah Jatinegara. Dua minggu ia tinggal di sana.

Minggu-minggu pertamanya di Jakarta, bukanlah saat yang mudah bagi Tasiyem. Ia tak tahu harus berbuat apa. Suasana kota Jakarta yang begitu berbeda dengan desanya membuatnya kaget. Matanya kagum oleh pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di Jakarta. Mal-malnya tampak begitu megah dipandang. Orang-orang dengan dandanan necis tampak berseliweran di mana-mana.

Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah pameran kemewahan. Kemewahan itu begitu menyengat ingatannya. Semuanya nyata namun terasa maya baginya.

Tasiyem tersentak dengan realitas yang ada. Ia bukan bagian dari kemewahan itu. Ia hanya janda kampung yang kini menumpang tinggal dengan sahabatnya di sebuah kontrakan yang sangat kecil. Bising, kepulan asap senantiasa menemani hari-harinya di situ. Tak ada lagi semilir angin dusun. Kicauan burung di pagi hari kini berganti dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga. Lambaian padi-padi yang menguning pun jauh dari pandangan.

Ia tinggal di Jakarta. Minggu pertama Tasiyem ikut Djiah ke Pasar Beras Cipinang. Ia memperhatikan temannya itu bekerja. Djiah menyapu, mengumpulkan kemudian mengayak beras yang berserakan di lantai aspal.

Minggu pertama ia hanya melihat. Ia masih malu dan ragu. “Apakah boleh memungut butiran beras-beras yang berserakan itu?” piker Tasiyem dalam hati.

Minggu kedua, ia kembali ke Pasar Beras Cipinang. Kali ini ragu dan rasa malunya telah hilang. Djiah sahabatnya rupanya berhasil meyakinkan Tasiyem. Sapu lidi dan kaleng bekas yang telah dilubangi kini siap di tangan. Srek….srek….srek….bunyi sapunya yang menyentuh lantai aspal di muka gudang-gudang penyimpan beras di Cipinang.

Dengan sabar dan telaten, Tasiyem memunguti butiran beras yang jatuh dari truk-truk pengangkut beras yang parker di pasar itu. Demi mendapat lima atau enam liter beras per hari, Tasiyem bekerja dari pukul enam pagi sampai pukul lima sore. Kalau pasokan beras sedang ramai, ia bisa mendapat sepuluh liter beras dalam sehari.

Beras itu biasanya akan langsung ia jual di pasar dengan harga 1500 rupiah per liter. Kalau tak ada pembeli, beras itu akan dibawanya pulang. Adzan lohor berkumandang. Ia segera bergegas ke mushola untuk shalat. Usai shalat dan makan siang seadanya, ia kembali bekerja.

Matahari tengah teriknya bersinar. Keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya yang kurus. Siang itu beras yang berhasil dikumpulkannya amatlah sedikit. Pasokan beras sedang sepi. Uang di kantong pun tak ada. Tasiyem kebingungan. Cacing-cacing di perutnya dari tadi sudah berdendang.

Pada saat itulah, seorang wanita tua menghampiri dirinya. Bu Ayah, nama perempuan itu. Dengan nada lembut Bu Ayah bertanya, “Ibu tinggal di mana? Hari ini dapat berapa liter?”

Bagi Tasiyem, perjumpaannya dengan Bu Ayah merupakan berkah tersendiri. Tasiyem kini tak perlu menumpang di kontrakan sahabatnya. Ia bisa mandiri. Bu Ayah yang memiliki warung makan Padang di Cipinang, menawarinya tempat tinggal.

Awalnya ia ragu. Ia tak kenal orang ini, pikirnya. Namun melihat ketulusan sikap yang ditunjukkan Bu Ayah, ia menjadi yakin untuk tinggal bersamanya.

Hari masih gelap. Ayam jago belum berkokok. Udara terasa dingin menusuk kulit. Jarum jam baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Di sebuah dapur rumah sederhana di kawasan Cipinang, Tasiyem tengah sibuk menanak nasi dan memasak sayur. Tiap pagi itulah kegiatan rutin yang ia lakukan di tempat barunya. Ia membantu Bu Ayah di dapur.

Matahari mulai menyingsing dari ufuk timur. Usai shalat subuh, dengan berjalan kaki sekitar setengah jam Tasiyem bergegas membawa masakan-masakan itu ke Pasar Beras Cipinang, tempat ia biasa bekerja. Warung Bu Ayah ada di sana.

Tasiyem kini sudah 12 tahun bolak-balik Jakarta-Cilacap. Usianya pun sudah menginjak 55 tahun. Selain dipercaya Bu Ayah, kini ia kerap dimintai tolong untuk mencarikan pembantu rumah tangga. Adalah teman-teman Bu Ayah yang kerap menggunakan jasanya.

Mereka akan menelpon Tasiyem bila butuh pembantu. Untuk jasanya itu ia akan mendapat imbalan lima puluh ribu rupiah. Dengan catatan si pembantu itu sudah betah selama satu minggu di tempat kerjanya. Namun bila sebaliknya, uang itu akan dikembalikannya.

Ia menyimpan sepenggal cerita tentang pekerjaan sampingannya itu. Ia pernah berjalan kaki dari Roxy ke Cipinang. Ceritanya sehabis mengantar calon pembantu ke daerah Roxy, dirinya hanya diberi 5000 perak saja sebagai ongkos jalan. Takut tak cukup, ia akhirnya memutuskan berjalan kaki.

Tak hanya dari Roxy ke Cipinang saja yang pernah ditempuhnya. Pulogadung, Pondok Kelapa, Kampung Melayu, dan setengah perjalanan dari Grogol ke Cipinang pernah dilaluinya dengan berjalan kaki. Tasiyem nampaknya wanita yang tangguh, meski kehidupan Jakarta begitu keras, namun ia tetap merasa bersyukur dan gembira.

Hanya satu hal yang membuatnya sedih selama tinggal di Jakarta. Ketika senja tiba, ia selalu teringat kampung halamannya. Matanya tak kuasa menahan butiran hangat dari kedua belah matanya. “Saya ingat di kampung. Saya ingat pengajian di sana, walau di sini ada, tapi rasanya berbeda”, ucap Tasiyem sambil menitikkan air mata. Senja di Jakarta menggugah kerinduan pada kampung halamannya.

2 comments:

  1. jadi terharu,,harus banyak2 bersukur yah kita :(

    ReplyDelete
  2. iyah sis. aku juga mpe hampir nangis waktu dulu liputan.

    ReplyDelete