Saturday 30 July 2011

Hot Lombok

Bertemu si traveler penggemar kopi hitam hingga berantem dengan sopir angkutan.

Aku biasanya traveling sendirian. Tapi, jalan-jalan ke Lombok dan Bali kali ini lebih ramai. Gita, kawanku dari Jakarta dan Dora, temannya ikut berbackpacker ria bersamaku.

Minggu akhir di bulan Juni 2011, aku datang ke Jakarta. Setelah menginap dua hari di Benhil dan Pejaten, aku bertemu Gita di daerah Ampera, Jakarta Selatan. Kami naik mini bus 19 menuju pangkalan DAMRI di Blok M.

Mini bus yang kami naikki tak kunjung bergerak. Jarum jam di tangan Gita menunjukkan pukul 03.15 WIB. Kami agak panik karena takut terlambat sampai di bandara Soekarno-Hatta. Pesawat yang kami booking akan terbang pukul 19.15 WIB. Sementara, perjalanan dari Blok M ke bandara Soeta butuh waktu sekitar dua jam, belum lagi kalau terjebak macet. Ketinggalan pesawat, NO WAY!!! Kami tak ingin itu terjadi.

Gita dan aku mencoba tetap bersabar. Kalau nanti mini bus terlalu lama, kita berencana akan memakai taksi. Ah, leganya! Setelah hampir dua puluh menit menunggu, mini bus pun melaju kencang. Sekitar pukul empat, kami sampai di pangkalan DAMRI Blok M. Dora, rupanya sudah sampai di sana duluan. Tapi dia berada di Blok M Mall.

“Dora, aku dan Susan sudah sampai di pangkalan DAMRI. Kamu di mana? Ke sini cepat donk”, ujar Gita menelepon Dora.

Saat tengah menunggu Dora, seorang sopir taksi menghampiri kami. “Taksi ke bandara neng? Murah kok. Kalau pukul segini, DAMRI udah gak ada!” ujar sopir taksi berharap kami memakai moblinya.

“Nanti saja Pak. Kita masih menunggu teman. Pukul segini, DAMRI juga biasanya masih ada,” ujarku santai.

Lima menit kemudian, seorang gadis berambut ikal sepinggal muncul dari arah Mall dengan wajah sumringah. Ia menenteng tas punggung besar berwarna hijau lumut.

“Hi, sorry, tadi gw ke Mall dulu ada urusan,” ucap Dora.
“Iya, gak papa. Santai jeng,” ujarku dan Gita.

Tak lama berselang, bus DAMRI muncul dan parkir tepat di depan kami. Seperti tupai yang melompat, kami langsung masuk ke dalam bus mencari tempat duduk. Sudah lima belas menit kami menunggu, tapi bus tak juga bergerak. Menurut sopir, bus masih akan menunggu lama.

Kami bertiga dan seorang penumpang lainnya menyewa taksi bersama menuju bandara Soekarno-Hatta. Meski agak was-was takut tertinggal pesawat, perjalanan terasa menyenangkan karena diisi canda tawa.

Bandara
Pesawat ke Mataram delay. Penumpang tumpah ruah di waiting lounge. Kami bertiga terpaksa duduk di lantai karena tidak kebagian kursi menunggu.
Kubuka backpack dan kuambil buku berwarna coklat setebal 453 halaman pemberian Tom, sahabatku. Menunggu pesawat tak lagi terasa membosankan karena kumulai larut dalam deretan-deretan kata karya Julia. Buku antologi berjudul Sex, Power, and Nation itu terasa serius.

Saat kusedang membaca, seorang traveler datang dan duduk di sampingku. Aku tak memperhatikan apakah dia seorang wanita atau pria. Ku terus larut dalam bukuku.

“Pesawat ke Mataram ditunda selama empat puluh lima menit,” pengumuman tentang keterlambatan pesawat membuatku berhenti membaca dan melihat ke sekeliling. Saat menengok ke arah kiri, kulihat seorang pria muda berkaos merah, bercelana selutut duduk di sampingku. Ia tampak sibuk membaca buku lonely planet, Indonesia.

“Hello”, sapanya dengan ramah. Pemuda bermata hijau itu bernama Aaron. Ia berasal dari Michigan, Amerika Serikat. Ia berada di Indonesia untuk berlibur. Aaron awalnya berangkat dari Amerika Serikat bersama dua orang saudara perempuannya, Ali and Lindsey. Mereka berlibur ke India bersama. Ali dan Lindsey kembali duluan ke Amerika, sementara Aaron melanjutkan berkeliling Asia sendirian.

Aaron dan aku mengobrol tentang daerah yang akan kami kunjungi untuk berlibur. Mengejutkan! Ternyata, kami satu arah yakni Lombok. Setelah berbincang dengan Gita dan Dora, Aaron pun ikut bergabung dalam rombonganku.

Lombok

Pesawat Lion Air yang kami tumpangi tiba di Makasar pada tengah malam. Yuli, seorang kawan dari Lombok dan tiga orang temannya menjemput kami berempat di bandara. Dengan bersepeda motor, kami berempat menuju kos Yuli. Aku, Gita, dan Dora bermalam di kos Yuli. Sementara Aaron, menginap di kantor LBH kawanku. Momen seperti ini mengingatkanku pada saat kuliah dulu—kampus, organisasi, pulang malam, dan kos-kosan. Ah nostalgia yang indah!

Esok paginya, sekitar pukul sembilan pagi, Aaron ke tempatku. Ia sudah berkemas dan siap menuju Gili. Setelah sarapan dan berkemas, aku, Gita, Dora, dan Aaron berpamitan dengan Yuli dan teman-temannya. Kami memakai taksi menuju Bangsal—tempat kami menyebrang ke Gili. Menggunakan taksi atau mencarter mobil adalah pilihan yang bagus karena agak susah untuk naik kendaraan umum ke arah Bangsal. Apalagi kami berempat, biaya taksi sebesar seratus dua puluh ribuanpun menjadi lebih irit karena masing-masing hanya membayar tiga puluh ribuan saja.

Sopir taksi kami menawarkan dua pilihan jalur menuju Bangsal, yaitu melalui jalur tengah dan jalur pantai. Yang dimaksud dengan jalur pantai ialah jalan yang dilalui melewati pinggiran pantai sebelah barat Lombok antara lain Senggigi, Pura Batu Bolong dan beberapa view point dengan pemandangan pantai yang indah. Rute pantai ini memliki jalan yang relatif lebih baik dan mulus. Jika memilih jalur tengah, wisatawan akan melewati monkey forest atau yang dikenal dengan nama Baun Pusuk.

Menyusuri jalur pantai, kami disuguhi hamparan pasir putih, laut biru dengan airnya yang jernih, nyiur hijau dibingkai perbukitan-perbukitan yang tampak kokoh. Perjalanan terasa makin menyenangkan karena lagu-lagu slow rock menemani hingga kami tiba di Bangsal.

Sesampainya di Bangsal, taksi tidak bisa masuk ke bibir pantai tempat pembelian tiket penyebrangan, melainkan harus berhenti di semacam terminal kecil yang disebut stasiun oleh masyarakat setempat. Di tempat ini banyak cidomo (kereta kuda khas Lombok) yang dapat membawa wisatawan ke bibir pantai atau pos tiket pelabuhan. Tarif yang ditawarkan biasanya sekitar Rp. 10.000 per orang. Tapi jika punya kemampuan menawar, harganya tentu bisa berbeda. Aku hanya membayar Rp 10.000 ribu untuk satu cidomo yang mengangkut kami berempat. Membuatmu iri bukan? :p

Sesungguhnya, jarak dari terminal dengan bibir pantai tidak terlalu jauh, kurang lebih 300 meter. Anda bisa mencoba berjalan kaki sambil menikmati suasana, tapi kalau Anda termasuk orang yang tidak menyukai berjalan kaki, atau terlalu banyak membawa barang, cidomo bisa menjadi pilihan yang bagus.

Tiba di pelabuhan, aku melihat bangunan kecil dari kayu tempat penjualan tiket penyebrangan dengan rute Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Pelabuhan kecil ini sedikit unik karena penumpang baru bisa menaiki perahu apabila pembeli tiket sudah berjumlah 20 orang. Jadi jangan kaget kalau kita harus menunggu beberapa menit bahkan sampai puluhan menit. Petugas akan memberitahu melalui pengeras suara berapa banyak orang lagi yang masih diperlukan untuk perahu bisa berjalan. Ini adalah penyebrangan regular yang digunakan oleh masyarakat setempat selain wisatawan. Harga tiketnya bervariasi, Bangsal- Gili Trawangan Rp 10.000, Bangsal- Gili Meno Rp 9.000, dan Bangsal- Gili Air Rp 8.000. Waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 45 menit. Alternatif penyebrangan lainnya ialah dengan menggunakan speed boat carteran dengan biaya sekitar Rp 250.000 s/d. Rp 700.000. Akan sangat membantu jika Anda pintar menawar.

Aku, Aaron, Gita, dan Dora memilih ke Gili Trawangan. Kami beruntung karena perahu yang kami tumpangi berukuran besar, masih baru, dan full musik. Saat kapal mulai melaju, seorang pria bule muda naik ke dek belakang dan menari mengikuti irama music reggae yang diputar. Seluruh mata penumpang tertuju padanya. Kami bertepuk tangan dan tersenyum oleh tingkah lucunya. Melihatnya menari serasa sedang menonton tari streaptease di pesta bujang seperti di film-film. :p

Gili Trawangan

Setelah sekitar empat puluh lima menit mengarungi lautan, perahu kami akhirnya tiba di Gili Trawangan. Gili Trawangan merupakan sebuah pulau kecil nan eksotis yang dikelilingi dua pulau kecil lain, yaitu Gili Meno dan Gili Air.
Gili Trawangan dapat dikelilingi dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda sewaan dengan waktu sekitar satu jam. Di beberapa tempat, jalan yang dilalui merupakan pasir halus sehingga sepeda akan sulit dikendarai atau harus didorong. Tarif sewa sepeda di pulau ini Rp 15.000 rupiah/jam. Jika menyewa sehari penuh, harganya menjadi lebih murah yaitu sekitar Rp. 50.000.

Fasilitas untuk para wisatawan di pulau ini cukup lengkap. Ada banyak hotel, cottage, hostel (losmen) dengan fasilitas dan harga yang bervariasi serta restauran yang berjejer di sepanjang pantai. Tinggal pilih mana yang sesuai dengan budget wisatawan. Usai dua puluh menit berkeliling pulau, kami berempat menemukan home stay untuk menginap dengan harga Rp 100.000 per malam. Cukup murah kan?

Untuk turis dengan budget terbatas, terdapat tempat-tempat makan di depan pelabuhan. Tempat ini bernama pasar seni atau penduduk lokal sering menyebutnya sebagai central Gili Trawangan. Di siang hari menu andalannya ialah nasi campur dengan harga sekitar Rp.10.000. Sedangkan di malam hari terdapat pilihan seafood, ayam bakar, nasi goreng, bakso dan lainnya dengan harga yang relatif terjangkau. Hampir tiap malam, kami berempat makan di tempat ini.

Usai makan malam, kami biasanya bersantai di bar atau café sambil menikmati life music. Sama-sama Bar, tempat yang direkomendasikan Joko adalah tempat favoritku selama di Gili Trawangan. Ciri khas bar ini adalah musik reggae. Pengunjung yang datang ke bar ini 95 persen adalah wisatawan manca negara. Rasanya seperti bukan di Indonesia.

Di Gili Trawangan, aktifitas yang lazim ialah olahraga air seperti menyelam, snorkeling, mengelilingi pulau dengan menggunakan sepeda atau berjalan kaki, atau sekedar bersantai sambil menikmati pemandangan pantai. Di sore hari banyak orang berkerumun di sebelah barat pulau untuk melihat matahari terbenam, tempat ini diberi nama sunset view.

Tanggal 30 Juni 2011, hari terakhirku di Gili Trawangan. Aku, Gita, dan Dora akan berangkat ke Bali. Sementara Aaron masih akan tinggal beberapa hari di Gili dan akan melanjutkan perjalanannya ke pulau Komodo. Kami pun berpisah dengan si penggemar kopi hitam itu.

Perjalanan dari Lombok ke Pelabuhan Lembar sedikit menaikkan tensi kami. Beberapa kali, sopir kendaraan umum mematok harga yang lebih tinggi dari penumpang biasa. Kami bertiga bahkan sempat adu mulut sengit dengan sopir dan kernek kendaraan umum dari arah Mataram-Lembar. Mereka mencoba menipu kami dengan menarik ongkos angkot yang tidak wajar. Tentu saja kami menolak, karena kami tidak merasa mencarter mobil, tapi hanya sebagai penumpang biasa. Kami bertiga berhasil turun dari angkutan meski awalnya sempat dihalangi dua orang calo pelabuhan. Gagal dengan usaha memalak kami, si sopir melontarkan ancaman sambil berlalu pergi. What a rude man!!!

Meski sempat mengalami kejadian tak mengenakan, kami tetap menikmati perjalanan. Menghadapi penipu kami anggap sebagai bumbu perjalanan dan bagian dari petualangan. ;)