Saturday 16 October 2010

Rain


Rain drops from the sky. The cold air hold me gently. It was in the day, September 2010.I was so mesmerized with the sounds of the water touched the roof.It's like a lullaby.Maybe, if you were there with me, you'll love it too.

Friday 15 October 2010

Cowok Agen



Baru ketemu sekali langsung disuruh nikah? Hah, yang benar saja?

Sekitar pukul sebelas pagi, minibus yang menjemputku dan rombongan turis-turis yang mengunjungi Bromo tiba di Probolinggo. Kami berhenti di depan bangunan oranye berukuran sekitar 5 X 5 meter. Di tempat inilah, kami akan diantarkan ke tempat tujuan masing-masing seperti ke Denpasar, Pantai Lovina, ataupun Yogyakarta. Dari lima belas orang penumpang, hanya aku yang berasal dari Indonesia dan satu-satunya yang akan menuju Jogja. Sementara penumpang lainnya akan pergi ke kawah Ijen dan Bali.

Semua rombonganku turun dari mobil dan mencari tempat duduk masing-masing. Waktu aku mau bergabung dengan mereka, seorang laki-laki berambut sebahu memanggilku. Dia memintaku duduk di depan meja informasi. Bagai lebah-lebah mengiring ratunya, sepuluh orang bule mengikutiku. “Lho, kok ikut masuk semua? I just called her, not you guys!” ucap pria itu sopan. Beberapa bule kemudian pergi dan duduk di teras. Hanya Stephen dan Nienke yang masih tetap mendampingiku.

Aku heran, kenapa cuma aku yang diminta ke dalam. “Ada apa ya mas?” tanyaku penasaran.

“Non, yang mau pulang ke Jogja kan?” ucap pria gondrong itu.
“Iyah” jawabku.
“Mobil yang akan ke Jogja berangkatnya pukul 6 sore, mba.”
“Hah! Pukul enam sore? Bagaimana bisa? Kemarin petugas hotel di Jogja mengatakan kalau saya akan kembali ke Jogja sekitar pukul 11 atau 12 siang?” ucapku berusaha tetap tenang.
“Permasalahannya adalah pihak hotel di Jogja kurang begitu paham dengan kondisi di sini. Mobil yang akan menjemput Non baru ada pukul 6 sore nanti. Lagian kalau Non berangkat sekarang, sampai Jogja bakalan tengah malam. Tapi, kalau berangkatnya sore, Non akan tiba di Jogja pagi hari. Non bisa istirahat di mobil,” tutur si pria itu berusaha meyakinkanku.

Aku benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa tidak ada koordinasi yang matang antara hotel tempatku menginap di Jogja dengan pihak tour di Probolinggo. Ini sangat menjengkelkan, apalagi besok aku harus masuk kerja. Arrrrrrggggghhhhhh….

“Mas, apa benar-benar tidak bisa diusahakan untuk tetap berangkat pukul 12 siang ini?” pintaku sedikit senewen.
“Sayang sekali Non, tidak bisa,” jawab si gondrong sambil terus berusaha meyakinkanku bahwa kembali ke Jogja pada pukul 6 sore adalah pilihan yang tepat.

Tak ingin bolos kerja, aku berinisiatif menggunakan bus umum. Tapi, aku sudah membayar paket Jogja-Bromo PP, lagipula perjalanan dengan kendaraan umum juga bakal lebih lama karena harus ke Surabaya dulu. Si gondrong mengatakan, perjalanan dari Probolinggo-Surabaya butuh waktu tiga jam. Sementara, Surabaya-Jogja sekitar sepuluh jam. Ah, terpaksalah aku bersedia pulang ke Jogja pukul enam sore, tapi dengan beberapa syarat; aku minta makan siang dan makan malam gratis.

Nienke dan Stephen yang sedari tadi duduk di belakangku menanyakan apa yang terjadi? Aku bilang waktu kepulanganku ditunda, tapi itu tidak terlalu jadi soal karena pihak tour bersedia memberikan kompensasi.

Pukul 11.30 WIB, mobil yang akan mengantar turis-turis ke Kawah Ijen datang. Stephen pun pamit. Tak lama berselang, bus jemputan ke Bali tiba. Nienke dan Floris, pacarnya mencium kedua pipiku sebelum masuk ke mobil. Semua turis sudah pergi, tinggal aku sendirian di sana.

Si gondrong mendekatiku dan bertanya apa makanan kesukaanku. Dua orang laki-laki, yang salah satunya ternyata pemilik tour itu tersenyum melihat usaha si gondrong. Si gondrong terus merayuku untuk pergi makan siang bersamanya. Dia bahkan mengajakku jalan-jalan keliling objek wisata di Probolinggo. Aku menolak ajakannya untuk makan siang ataupun berkeliling Probolinggo naik motor. Badanku rasanya sudah sangat lelah, belum mandi, dan mengantuk menjadi alasanku. Lagipula aku memang tak ingin pergi makan berduaan dengannya.

“Kalau mau traktir aku makan siang, ya beliin aja. Aku tidak usah ikut ke rumah makan,” ucapku yang membuat si gondrong tampak kecewa.
“Aku memang lapar, tadi aku juga sangat mengantuk karena semalam hanya tidur dua jam. Aku butuh tempat beristirahat dan mandi,” kataku kembali. Si gondrong tampaknya mengerti dan kemudian menawarkan tempat beristirahat di rumah bosnya.

“Kalau kamu butuh tempat istirahat, kamu bisa tidur di rumaku,” ucap bos tour mengamini usulan si gondrong. Aku agak ragu dan terdiam ketika pemilik tour kembali bertanya, “Kamu takut diperkosa yah? Kalau kamu takut, aku malah seneng. Tapi kalau kamu ndak takut, aku yang malah takut,” ucapnya berkelakar yang kontan saja membuat si gondrong dan satu orang temannya tertawa terbahak-bahak.

“Bos ini masih bujangan, jadi ndak usah takut diapa-apain. Lagian di rumahnya ada bapak dan ibunya. Kamu tenang aja. Kami memang senang bercanda,” ucap teman si gondrong.

Entah karena rasa kantuk yang hebat atau memang semi nekat, aku akhirnya menerima tawaran si bos tour. Pria bertinggi badan sekitar 173 cm dan berkulit kuning langsat itu segera menstater motornya. Kamipun melesat menyusuri jalanan kota Probolinggo. Di depan sebuah rumah makan padang, kami berhenti. Ia mentraktirku makan siang. Selesai makan, kami melanjutkan perjalan.

Laju motor makin pelan ketika memasuki bangunan bertembok keliling. Di dalam bangunan kotak itu, ternyata berdiri kokoh dua buah rumah; satu terlihat sudah lama dihuni dan satunya tampak masih baru. Di depan beranda rumah baru, kami berhenti. “Ini rumah saya, silakan masuk,” ujar pemilik tour yang biasa dipanggil Anto.

Rumah baru itu berlantai keramik. Satu bangku panjang dan sebuah meja tertata rapi di beranda rumah. Saat memasuki ruang tamu, kulihat beberapa kaligrafi ayat-ayat al-Quran tergantung indah pada dinding rumah bercat putih itu.Saat aku tengah melihat kaligrafi cantik tersebut, Anto masuk ke dalam salah satu kamar dan menyalakan lampu. Selesai itu, ia kembali ke ruang tamu menemuiku.

“Kalau kamu mau mandi, itu tempatnya,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah kamar di ujung ruangan. “Nah, kalau ingin beristirahat, silakan ke kamar ini,” ujarnya sambil menunjuk ke kamar yang ada di depan ruang tamu.
“Silakan anggap rumah sendiri. Saya mau pergi ke kantor lagi. Nanti sore, baru saya jemput kamu,” ujar Anto sebelum meninggalkan rumah.
“Okay. Terima kasih yah,” jawabku.

Setelah Anto pergi, aku langsung terlelap di atas kasur yang empuk. Pukul setengah lima sore aku bangun dan bergegas mandi. Badanku terasa segar dan kembali bugar. Aku siap menempuh 10 jam perjalanan ke Jogja. Setelah berkemas-kemas dan rapi, aku duduk di beranda menunggu Anto menjemputku.

Saat itulah muncul seorang perempuan setengah baya. Kurasa ia salah satu kerabat Anto, mungkin ibunya. Ia menyapaku ramah. “Anak ayu ini siapa yah?” ucapnya sambil mendekatiku.

Aku langsung menerangkan bahwa diriku salah satu penumpang travel yang ikut beristirahat di rumah Anto karena mobil jemputanku baru ada pukul enam sore. Si ibu tampak mahfum. Sambil berjalan ke samping rumah, ia mempersilakanku bersantai kembali.

Lima belas menit sudah aku menunggu Anto, tapi dia belum menunjukkan tanda-tanda akan datang. Aku pikir dia lupa sehingga kuputuskan untuk mengirim sms ke sopir yang mengantarku ke Bromo. Namun, belum lama usai kumengirim sms, si bos tour itu datang. Aku segera berdiri dan berniat menenteng ranselku ketika seorang bapak dan ibu yang tadi berbicara denganku menyambut Anto.Mereka bertiga kemudian bercakap-cakap dalam bahasa daerah yang tak kumengerti.

Anto mendekatiku. “Tunggu ya San, aku ada urusan sebentar,” ujarnya seraya menyetarter motor. Ia pergi, sementara bapak dan ibu yang tadi berbincang dengannya masih duduk di samping rumah. Mereka melemparkan senyum padaku.

Tak berapa lama berselang, Anto datang. Usai berpamitan dengan mereka, kamipun meluncur menuju kantor tour. Di tengah perjalanan, Anto membuka suara. Ia terdengar agak berhati-hati saat bertanya. “San, kamu sudah punya pacar belum?” tanyanya malu-malu.

Karena kukira ia hanya ingin mencairkan suasana, kujawab saja sekenanya. “Belum”
Anto tersenyum mendengarnya.

“Kamu tau tidak, apa yang tadi ibuku katakan? Dia menyuruh kita menikah soalnya aku tidak pernah membawa gadis ke rumah. Kamulah perempuan pertama yang kuajak ke rumahku,” ujar Anto membuatku agak kaget.
“Hah, yang benar saja? Kita kan baru kenal,” ucapku berusaha menetralkan suasana.
“Iyah, aku tahu. Tapi kata ibuku kamu terlihat baik dan toh kita bisa saling mengenal terlebih dahulu kan?” kata Anto berusaha meyakinkanku.
“Maaf Mas Anto, tapi rasanya itu aneh. Kita belum mengenal pribadi masing-masing dan saya belum tahu kapan bisa balik ke tempat ini lagi” jawabku sopan.

Kami akhirnya sampai di kantor Anto. Turun dari motor, aku langsung menuju bangku panjang yang ada di teras. Aku duduk di sana. Tak berapa lama, sebuah bus dari Surabaya berhenti di seberang jalan. Seorang gadis bermata sipit membawa ransel ukuran sedang turun dan berjalan ke arahku.

“Are you going to Bromo?”, ujar si gadis menyapaku.
“No, I am going to Jogja,” jawabku sambil mempersilakannya duduk di sampingku.
Gadis itu berasal dari Toronto, Kanada. Namanya Xiang. Ia akan mendaki Bromo. Saat aku dan Xiang tengah berbincang-bincang, Anto mendekatiku. Ia mengajakku makan malam di sebuah restoran tak jauh dari kantornya.

“Terima kasih atas tawarannya mas, tapi saya belum lapar. Lagian mobil yang akan ke Jogja sebentar lagi datang,” ucapku menolak tawaran Anto dengan halus.
Meski terlihat agak sedikit kecewa, Anto tampaknya bisa menerima keputusanku. “San, meski kita baru pertama bertemu, tapi aku pasti akan kangen padamu,” ucapnya. “Bolehkah, aku meminta nomer handphone-mu? Kalau suatu saat nanti kamu berkunjung ke Bromo, jangan ragu untuk menghubungiku,” pintanya. Akupun setuju dan memberikan nomerku sebagai tanda persahabatan.

Mobil jemputan yang akan mengantarku ke Jogja datang tepat pukul enam sore. Aku berpamitan dengan Xiang dan Anto. Wajah Anto terlihat agak muram saat menjabat tanganku. Lambaian tanganpun mengantarkan kepergianku ke Jogja. Selamat tinggal Bromo, suatu saat aku pasti akan kembali…

Sunday 10 October 2010

Stop Mendengkur!!!!


Sering tidur mengorok? Jangan anggap sepele saat tidur mendengkur alias mengorok. Jika disertai dengan henti napas, mengorok bisa menimbulkan gangguan kesehatan, seperti darah tinggi, jantung, impotensi, bahkan stroke.

Mengorok terjadi karena udara tidak bebas mengalir melalui saluran pernapasan kita. Struktur mulut dan tenggorokan (lidah, tenggorokan atas, langit-langit atas, uvula, tonsil, dan adenoid) bergetar bersamaan. Tidak lancarnya udara yang keluar masuk saluran napas tersebut disebabkan oleh beberapa hal, seperti flu (hidung tersumbat lendir), pembengkakan pada tonsil atau adenoid (kelenjar yang terletak di bagian dalam kepala dekat dengan saluran napas), yang disebabkan oleh infeksi karena bakteri.

Kebanyakan minum alkohol juga bisa menyebabkan mengorok. Ini karena lidah dan otot-otot pada tenggorokan terlalu rileks sehingga menghambat proses mengalirnya udara di saluran napas dan mulut. Mengorok bisa juga muncul pada seseorang yang kelebihan berat badan.

Mengorok sendiri ada beberapa jenis. Pertama, mengorok ringan yang terjadi apabila kondisi badan sangat lelah atau bila seseorang tidur terlentang. Kedua, mengorok yang terjadi setiap malam. Ketiga, jenis yang paling berat adalah mengorok dengan dengkuran keras, terputus-putus, serta diikuti hentakan napas yang dalam. Masalah mendengkur yang berat itu secara medis disebabkan oleh gejala gangguan sumbatan pernapasan pada saat tidur (obstructive sleep apnea/OSA).

Biasanya penderita OSA sering terbangun pada malam hari dengan jantung berdebar. Saat bangun pagi, penderita juga biasanya merasa kurang tidur, badan menjadi tak segar, dan tak jarang disertai sakit kepala.

Beberapa hal sederhana bisa dilakukan untuk mengurangi kebiasaan mendengkur. Diantaranya:
1.Ambil dua ruas kunyit, cuci bersih, memarkan hingga pipih, masukkan ke dalam gelas, beri sedikit air hangat (air yang sudah matang tentunya).Tambahkan dua sendok madu (boleh lebih kalau suka manis), aduk sampai rata kemudian minum.
Lakukan hal ini selama seminggu berturut-turut. Jika dilakukan dengan tekun, dipercaya kebiasaan mengorok akan hilang.

2.Cara lain mengurangi kebiasaan mendengkur adalah menghindari minuman beralkohol, mengurangi berat badan (jika kelebihan berat badan) serta mengubah posisi tidur.

Satu posisi yang menyebabkan tidur mengorok biasanya leher tertekuk akibat kepala terangkat terlalu tinggi atau orang tidur dalam posisi terlentang. Jadi, lebih baik tidak meninggikan leher saat tidur atau tidak menggunakan bantal yang terlalu tebal. Tidur miring juga dapat mencegah lidah jatuh sehingga jalan napas tidak terlambat. Namun bila cara-cara di atas tidak mempan, Anda bisa berkonsultasi ke dokter ahli untuk menjalani terapi yang sesuai.

Saturday 9 October 2010

Borobudur Temple


Every person must have a favorite place. It’s same with me. I have one favorite place in Java. It’s Borobudur.

Borobudur is the largest Buddhist temple in the ninth century measuring 123 x 123 meters. It was completed centuries before Angkor Wat in Cambodia. The Borobudur Temple was built by King Samaratungga, one of the kings of Old Mataram Kingdom, the descendant of Sailendra dynasty. It is located at Magelang, 90-km southeast of Semarang, or 42-km northwest of Yogyakarta.

Borobudur temple is the one of the best-preserved ancient monument in Indonesia that are most frequently visited by over a million domestic as well as foreign visitors. It also had been acclaimed by the world as a cultural heritage main kind. The architectural style has no equal throughout the world. The whole structure of Borobudur reflect the hard-work, perseverance and high dedication of thousands people who were sweating on their attempt to make their way up to hill dragging tons of rock in the scorching heat of the tropical climate. The name of Borobudur, as some people say, means a mountain having terraces (budhara), while other says that Borobudur means monastery on the high place.

Borobudur stands majestically on a hilltop overlooking lush green fields and distant hills. It is built of gray stone. It rises to seven terraces, each smaller than the one below it. The top is the Great Stupa, standing 40 meters above the ground. The walls of the Borobudur are overstated by beautiful bas-reliefs.
Borobudur is constructed as a ten-terraces building symbolizing the ten stages of the Mahayana Buddhist cosmic system.









Based on: http://www.yogyes.com/en/yogyakarta-tourism-object/candi/borobudur/

The base of Borobudur, called Kamadhatu, symbolizes human beings that are still bound by lust. The upper four stories are called Rupadhatu symbolizing human beings that have set themselves free from lust but are still bound to appearance and shape. On this terrace, Buddha effigies are placed in open space; while the other upper three terraces where Buddha effigies are confined in domes with wholes are called Arupadhatu, symbolizing human beings that have been free from lust, appearance and shape. The top part that is called Arupa symbolizes nirvana, where Buddha is residing.

In order to understand the sequence of the stories on the relief panels, you have to walk clockwise from the entrance of the temple. The relief panels tell the legendary story of Ramayana. Besides, there are relief panels describing the condition of the society by that time; for example, relief of farmers' activity reflecting the advance of agriculture system and relief of sailing boat representing the advance of navigation in Bergotta (Semarang).





P. S. To reach Borobudur, you have the option of going by motorcycle, taxi or public bus. Public transportation is available from the bus terminal. From that point you can hire becak (pedicab) or horse carts, or walk the rest of the way to the temple.

Thursday 7 October 2010

Bromo

Love at the First Sight

Have you ever visited a place you fell in love with? I have. It happened last July when I visited Bromo. At first, I only knew Bromo from the guidebooks and my friends. Also I remembered a story about the legend of Bromo. I was so curious. I wanted to set foot on this legendary land. And yay … the day finally came.

After seventeen hours on a bus, I arrived at the Shion hotel around 10 in the evening. A breezy wind welcomed me as I exited from the car. Shion is located about 3 km down from Cemero Lawang or 20 minutes by jeep to Mount Bromo. It was crowded that night and the room was full. So I share the double bed with two Spanish girls. The room was small but that was fine for me because I only slept there for few hours.

Before we went to bed, the Spanish girls wanted to change their Euro money to rupiahs. A guy in the hotel told us that we could find the money changer about 200 meters from Shion. The Spanish girls, a Dutch couple, and I all went there. The money changer was located in Yoschi’s Hotel.

Surprisingly, Yoschi had a nice cafĂ© which was open till midnight. We had dinner there while enjoying the acoustic music performance. This place is a bit of a legend on the backpacker circuit. It is probably the best value option anywhere near the park and it serves particularly good food (that’s based on my own opinion) lol…

At midnight, we went back to Shion. We only slept for three hours because at 3. a. m. we awoke and started our journey. Here we go….


Mount Bromo

Mount Bromo is one of the most famous and most beautiful volcanoes in Indonesia. It is located in Tengger, in East Java.

Mount Bromo is one of two volcanoes that were created following a massive eruption which created an enormous caldera in which are the active Mount Bromo and the non-active Mount Batok. The caldera has seen filled with grey sand, and is called Laut Pasir (Sea of Sand). Trekkers walk through this expanse on their way to Mount Bromo. The scenery is reminiscent of the wonder land. The lush green valleys all around the caldera it’s so majestic.

Mount Bromo is easily recognized as the entire top has been blown off and the crater inside constantly belches white sulphurous smoke. Standing at a height of 2329 meters, Mount Bromo isn’t the tallest mountain in Java. That title goes to 3676 meters tall Mount Semeru. Also known as Mahameru (Great Mountain), Mount Semeru is one of the Indonesia’s most active volcanoes. It’s constantly belches out a steam and smoke, sometimes interspersed with ash and stones. Climbing Mount Semeru requires some planning and a permit from the national park authority.





The Legend of Tengger (Bromo)

There is a legend related to Mount Bromo and the region of Tengger. According to this legend, there was a 15th century princess named Roro Anteng from Majapahit who started a principality with her husband Joko Seger, a Brahma Caste. They named the kingdom Tengger, an amalgam of the last syllable of both their names.

The Kingdom of Tengger prospered, but the royal couple was unable to produce an heir to the throne. In desperation they made a trip up Mount Bromo. They prayed and meditated on Bromo for many days before the crater opened to seek the help of god in granting them a child. The gods agreed and announced that they would be given children, with the condition that the last child should be sacrificed as return.

Child after child was born during the years and it reached 25 in number to whom Roro Anteng gave the named Kesuma for the last child. The royal couple was happy ever since, love and affection were imparted among their children.
Happiness lingered on years after years, but a sad feeling still haunted them for their promise would be claimed one day. A bitter disappointment of losing a child shot through their brains. The day came, the God reminded them of their promise which could not be avoided.



As they felt how cruel it was to sacrifice their beloved child, they decided to break their promise. They brought away their children in order to save their last child from the offering. They tried to find a place to hide, however, they could not find away.

All of by sudden, a dreadful eruption of Bromo followed and swallowed Kesuma into crater. After he disappeared from the sight, his voice was heard asking that an annual ceremony be performed to appease the gods. The ceremony was still being performed to this day. It takes place on the 14th day of the full moon Kesodo, according to the Tenggerese calendar. Rice, fruits, vegetables, flowers and livestock are offered to the mountain gods.



Going to Mount Bromo

The nearest airport to Mount Bromo is Surabaya, about 3 - 4 hours away by bus. If you are from Yogyakarta, you can follow a tour or take a bus. It is about 10 hours by car or more by bus.

Most visitors to Mount Bromo access it from Cemoro Lawang, at the foot of the mountain. To go there from Surabaya's Juanda International Airport, take the Damri shuttle bus to the Bungurasih Bus Terminal. From there, take the Patas air-conditioned bus to Probolinggo. The journey takes about 2-3 hours. At Probolinggo, it is another one hour to Ngadisari, a town about 6km northeast of Mount Bromo and the base camp for Mount Bromo trips.

Another base camp is Cemoro Lawang, about half an hour from Ngadisari. You can get accommodation at Ngadisari so that you start off a little after midnight for the trip to Mount Bromo. Be sure to bring along warm clothing because the temperature can drop to between zero and five degrees Celcius. While daytime temperatures anywhere in the park is about 20 degrees Celcius.



From Cemoro Lawang, you can easily hike up Mount Bromo and Mount Penanjakan. The foot of Mount Bromo is a 3-km hike from Cemoro Lawang. You can hire a horse for 70,000 Rupiah or a seat in a jeep for 80,000 Rupiah to take you to Mount Bromo. Private cars are not allowed. The whole area is a hiker’s dream though – walk if you possibly can.

P. S.

If you don’t bring any warm clothing, you can rent jackets and hats at Cemoro Lawang and at the Pananjakan viewpoint for about Rp 20,000.



What to see?


• The main sight is of course Mount Bromo. It is always bubbling, and its edges are tinged with sulphur. From Cemoro Lawang, take the path on the left fork. It leads to the Hindu temple at the foot of the mountain. From there, a steep 250-step path leads to the crater from which you can view the volcano. Mount Bromo is an active volcano. If the mountain appears to be acting up, stay away from it for your own safety.

• The next object is Mount Batok (2440 m). It is a dormant volcano at the northern centre of the huge caldera. It is now growing with vegetation, mostly casuarinas (cemara) trees that can thrive in the volcanic ash.

• To the north of the caldera is Mount Penanjakan (2770m). As it has a paved road, it can be reached by jeeps and even tour buses. It is crowded with tourists at around 5:00am. If you are here at a later time, you probably get the place all to yourself.

• Tengger Tribal communities in the area of the Semeru and Bromo Mount hold Kasodo ceremony every year. This cultural event is a worth event to witness among ceremonies like Sekaten and Ruwatan.