Wednesday 8 December 2010

Hidup Ala Militer


21 Oktober 2010

Hari pertama tinggal di asrama dan merasakan hidup ala tentara. Pukul 03.00 pagi, tetangga kamar mulai terdengar bersuara. Kubuka mata sekejap. Udara pagi yang dingin menelusup kulit. Kutarik kembali syal biru panjang yang kujadikan selimut. Aku masih ingin berlama-lama merasakan kasur. Namun, usahaku memejamkan mata tak berjalan lama. Baru sebentar kurebahkan kepala, teman satu kamar yang tidur di ranjang atas bangun dan menyapaku.

“Mba San udah bangun,” sapa Tiwi di pagi yang dingin.
Dengan suara masih serak, kujawab pelan sapaan Tiwi. Kedua bulu mata ini rasanya masih ingin berpelukan satu sama lainnya, tapi keramaian penghuni asrama bagai alarm yang tak bisa dihentikan. Ia terus berbunyi dan makin nyaring. Dengan sedikit malas, aku bangun dari tempat tidur. Kurapikan sprei dan melipat syal. Usai itu, aku bergegas ke kamar mandi sambil menenteng handuk dan tas plastik kecil berisi peralatan mandi.

Jarak kamar mandi dengan kamarku lumayan agak jauh. Aku harus melewati sekitar lima kamar dan berjalan di koridor yang sepi. Bulu kuduk kadang berdiri terutama jika mengingat cerita-cerita dari beberapa teman dan BINSUH mengenai “penghuni asrama”. Pernah suatu malam, Pak Bungkus, temanku satu angkatan, terpaksa menahan kencing hingga pagi. Menurut cerita, saat ia sedang merokok di lobby lantai dua, ia melihat penampakan “Mba Kunti”. Karuan saja, Pak Bungkus langsung lari terbirit-birit ke kamar tidur dan ngempet pipis mpe pagi.

Kamar mandi di asrama Sindoro II, lantai 1 ada lebih dari sepuluh namun yang bisa digunakan hanya lima buah. Tiap kamar, panjang bak mandinya sekitar 4-5 keramik ukuran 50 cm. Jika hendak keluar dari kamar mandi, aku yang berbobot 43 Kg harus memiringkan badan. Sementara, buat mereka yang punya berat badan di atas 70 Kg, mungkin akan butuh usaha ekstra saat keluar dari ruangan bercat krem tersebut.

Saat acara mandi datang, acapkali penghuni asrama harus rela antri karena jumlah penghuni yang lumayan banyak sementara kamar mandinya terbatas. Dari momen menunggu itulah, sesama penghuni asrama bisa berbincang atau hanya sekadar saling menyapa.

Setelah mandi dan berwudu, pukul 4.30 aku kembali ke kamar. Usai salat dan memakai seragam olah raga, aku, Lusy, Mba Lay, dan Tiwi segera menuju lapangan untuk mengikuti apel sebelum senam. Pukul lima kurang seperempat, kami harus sudah ada di sana. Lima belas menit waktu yang dibutuhkan untuk mengkondisikan peserta pelatihan. Pukul lima tepat, kami menuju lapangan lain yang berjarak sekitar 500 meter.

Hari pertama di asrama, olahraga yang kami ikuti adalah erobik. Aku sangat menikmati olahraga yang satu ini karena bisa menggoyangkan pinggul sambil mendengarkan musik yang rancak. Peserta prajab laki-laki juga tampak antusias. “Pelatihnya terlihat begitu energetik dan seksi,” kelakar Pak Adi. Tentu saja, alasan seksi hanya bumbu bercanda agar kita tetap waras di lingkungan pendidikan yang ketat.


Selain erobik, satu hal lain yang membuatku menyenangi olahraga selama di asrama adalah acara pijat memijat. Peserta prajab membuat formasi seperti kereta-keretaan. Mereka yang ada di belakang memijat pundak dan punggung peserta yang ada di depannya. Acara pijat memijat itu bergantian, jadi semua peserta pasti kebagian jatah.

Hari kedua di asrama, olahraga pagi kami adalah jogging keliling kompleks. Kami berjalan dan berlari kecil sambil bernyanyi agar lebih semangat. Seperti hari pertama, pukul 05.30 pagi, kami kembali ke asrama untuk mandi dan berganti baju. Seragam peserta wanita selama mengikuti prajab adalah rok/celana hitam dan kemeja putih; celana panjang hitam dan kemeja putih untuk peserta pria. Kami harus memakai seragam itu dari pukul enam pagi hingga delapan malam.

Awalnya, aku merasa aneh memakai seragam seperti itu. Apalagi dengan tambahan aksesoris dasi kupu-kupu yang harus dipakai peserta wanita. Rasanya sangat tidak nyaman. Tapi apa mau dikata, kami tak bisa protes.

“Yo…yo…yo…yo…” teriakan jail dari beberapa peserta prajab pria menandakan kalau kami harus segera ke lapangan untuk mengikuti apel pagi. Aku dan teman-teman sekamarku sangat sebel dengan suara yo…yo…yo… tersebut karena membuat kami tergesa-gesa. Pada jadwal kegiatan, apel pagi sebenarnya dimulai pukul 06.15 WIB. Tapi, karena banyak peserta yang datang lebih pagi, mau tidak mau kamipun harus menyesuaikan. Sigh…sigh….

Setengah tujuh pagi, kami masuk berbaris ke ruang makan. Kami harus antri, jika tidak ingin kena hukuman dari BINSUH (Pelatih kami dari AKPOL). Ketua senat harian akan maju ke depan untuk memimpin doa sebelum makan. Peserta prajab tidak diperkenankan makan sebelum ada aba-aba dari ketua senat harian. “Di tempat duduk, siap grak,” itu adalah kalimat pembuka sebelum berdoa. Kami harus duduk tegak dan kaki dihentakkan ke lantai saat ada aba-aba grak. “Selamat Makan” menjadi ucapan wajib kami sebelum menyantap makanan. Sementara “Terima kasih” adalah ucapan penutup selesai makan. Sebelum meninggalkan ruang makan, kami harus meletakkan piring, gelas, sendok, garpu, dan sisa makanan ke tempatnya masing-masing.

Pukul tujuh pagi, kami berbaris menuju ruang belajar yang jaraknya sekitar 300 meter dari lapangan apel. Pelajaran berlangsung dari pukul 07.30 pagi hingga 05.00 sore. Agar peserta prajab bisa sedikit meluruskan pinggang, pihak panitia memberikan dua kali coffee break yakni pada pukul 09.30 pagi dan 03.00 sore. Pada pukul 12.00 WIB hingga 13.00 kami juga berkesempatan untuk makan siang dan melaksanakan ibadah. Pukul 13.30 WIB, kami kembali masuk kelas dan melanjutkan belajar.


Pengajar kami disebut widyaiswara. Mereka lulusan S2 dan S3 dari beberapa universitas ternama di Indonesia dan luar negeri. Namun, meski pengajar kami bergelar master ataupun doctor, jadwal kegiatan yang terlalu padat tak pelak sering membuat mata kami seperti lampu 5 watt. Kedisiplinan, wawasan kebangsaan, team building, kepegawaian, dan kesehatan jasmani & rohani adalah beberapa materi yang harus kami ikuti.

Pukul lima sore hingga enam seperempat kami mendapat jatah istirahat untuk mandi dan sholat. Usai magrib, kami kembali ke lapangan untuk apel makan malam. Pukul tujuh malam, usai makan, kami kembali ke kelas untuk tugas baca (mempelajari modul yang akan dipelajari esok hari) hingga pukul delapan malam.

Selesai melakukan tugas baca, kami berbaris ke lapangan untuk mengikuti apel malam. Sepanjang perjalanan dari kelas menuju lapangan apel, kami diwajibkan berbaris yang rapi dan bila perlu menyanyi untuk menambah semangat. Jika semua peserta bisa berkumpul tepat waktu, pukul setengah sembilan malam kami biasanya sudah bisa kembali ke asrama untuk beristirahat. Tapi, bila BINSUH melihat ada pelanggaran yang dilakukan oleh peserta misal merokok di tempat yang tidak seharusnya, kami terpaksa lama di lapangan karena BINSUH akan memberikan “wejangan panjang lebar”. Dan, bila si pelaku tidak mengaku, semua peserta akan terkena hukuman. Hukuman yang dijatuhkan bisa bervariasi, kadang kita disuruh push up, atau berbaring telentang dan tengkurap di atas lapangan.


Saat paling menyenangkan selama tinggal di asrama adalah ketika akhir pekan tiba. Kita bisa pesiar ke luar asrama meskipun hanya beberapa jam. Selama enam belas hari mengikuti pendidikan ala militer, banyak pelajaran baru yang bisa kupetik salah satunya adalah kebebasan positif itu sungguh sesuatu yang amat nikmat.