Wednesday 26 May 2010

First Kiss


It was raining outside. Ana was sitting in front of her computer in her bedroom. But her thoughts were not there. They have traveled so far away. It was in the place where she met Mr. K for the first time. In a coffee shop, second floor at Aksara, Kemang on February 2nd, 2009, at lunch time. A charming man in magenta shirt and blue jeans was sitting near the window. His long blonde hair was pulled back. He looked busy with his laptop.

Ana didn’t know him. She had never seen his face before but, strangely, she was certain that it was him ... the man she was supposed to meet that afternoon. Yes, Ana managed to meet her cyber friend. But, is it really him? Ana was so sure that he was that man. She knew, maybe it was a gamble. She had met this man online but had never seen a clear picture of him. Somehow, though, she knew that this was the right man.

Ana smiled and came to his table. The man waved his hand, smiled, and then stood up from his seat. Her heart was beating fast when they were close. It’s not date, she told herself, it’s just meeting a new friend, but oh, how his smile was distracting.

“Are you Mr. K?” Ana asked, a bit nervous.
“Yes, that’s right,” said Mr. K in polite tone.

Ana didn’t shake his hand but she moved her face forward and let him kiss her cheek.
“Ohhh…silly…what I am doing?” Ana just realized what she had done.

In fact, Ana had never before allowed a man to kiss her cheek at the first meeting, but with this man it was different. It was her first experience. Her face turned red when he kissed her cheek softly. It felt like there was electricity flowing in her blood. Ohhh…. it was strange feeling. She knows, kissing cheek is not something strange, it’s common, but what is it? She felt a strange sensation when his face touched her cheek.

Both of them then sat down. Waiter came to their table.

"Would you two like to order something?”asked the waiter, in a friendly manner.

Ana ordered a cup of cappuccino, while Mr. K ordered a cup of black coffee and tuna sandwich. Once again, they smiled when their eyes met. They then talked about many things; Mr. K’s new book, his job, Ana’s job, places where Ana and Mr. K usually go to hangout, trafficking, their hobbies, and other topics. They talked for about 3 to 5 hours but they didn’t feel tired. For Ana, having a conversation with smart and fun person like Mr. K is one of her favorite things to do. Ufff, time felt too fast that afternoon. Mr. K needed to return to his apartment, but before he left, he offered to accompany Ana to her destination.

After pay the bill, they got out from the cafĂ©. It was raining outside. Mr. K took out his umbrella and then walked beside Ana. He stopped a taxi and gave her ride to Pasar Festival, Kuningan. Ana and Mr. K got out from the taxi. Once again Ana’s face turned red when Mr. K gave her goodbye kissed on her cheek. That kissed felt so soft. “Ah…sweet stranger, I’ll always miss your kiss until we meet again….” said Ana in her heart. KiSS….KISS...KISS…yeah, that warm KISS….

Saturday 22 May 2010

Night

Night comes
Silent as always
Cold like the ice

Drizzle comes
be the rhythm
Black birds, frogs, crickets are singing like a choir

No sparkling stars
It's just a dim moon
And a breezy wind that touch the leaves softly

Tuesday 18 May 2010

Taste the Salt



I taste the salt of the sea.
I can no longer tell them apart.
I stand at the edge of the abyss.
I am confused, dark or light that I should choose.
Ah....blue...blue....blue....
Now, the world looks so blue...
Can I have a chance to see the sunny day?
I dunno....

Monday 17 May 2010

Mengais Beras Menyambung Hidup

Yang dianggap tak berarti kerap berarti segalanya. Butiran beras tertindih ban truk dan tercium haring adalah harta berharga yang dipunguti Tasiyem dari subuh hingga maghrib tiba di pasar kumuh itu.

Musim tanam padi di desa Gintungreja. Gandrungmangu, Cilacap telah usai. Benih-benih padi di sawah kini tampak kian menjulang. Hijau dan melambai terkena angin. Bentuknya mirip ilalang. Seluruh lahan bagaikan hamparan karpet hijau yang nyaman. Menarik hati siapa saja yang melihatnya.

Di sebuah beranda rumah sederhana di kawasan itu, seorang wanita tampak duduk termangu. Dialah Tasiyem. Ia teringat ajakan temannya. “Yem, ayo melu aku ning Jakarta,” ajak Djiah. “Jakarta? Lah, aku bisa kerja apa ning Jakarta?” Tanya Tasiyem penasaran. “Nggolet beras. Lumayan nggo tambahan,” ucap Djiah meyakinkan.

Ajakah Djiah sahabatnya begitu terngiang di telinga Tasiyem. Awaslnya ia ragu, haruskah ia pergi ke Jakarta atau tinggal di kampong saja. Ia tak punya keterampilan apa-apa. Umurnya pun tak lagi muda, sudah 43 tahun saat itu. Apakah anak-anaknya akan mengizinkannya pergi? Lalu seandainya ia ke Jakarta, ia harus tinggal di mana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja berkecamuk dalam pikirannya. Di satu sisi ia ragu untuk ke Jakarta, tapi di sisi lain ia ingin membantu perekonomian keluarganya.

Sejak suaminya meninggal, perekonomian keluarganya hanya bertopang pada sawah seluas 125 meter. Padahal ongkos produksi bertani terkadang tak sebanding dengan hasilnya. Harga pupuk yang selangit tak berimbang dengan harga jual gabahnya yang rendah. Belum lagi persoalan irigasi yang terkadang jadi kendala. Lahannya termasuk sawah tadah hujan. Kalau tak ada hujan maka sawah tak dapat tergarap. Ongkos untuk mengairi sawahnya begitu mahal.

Pikirannya kembali terbawa ke masa lalu. Kenangan bersama suaminya kini muncul satu persatu dalam ingatannya. Hari masih pagi waktu itu. Sinar matahari menerobos dedaunan di depan rumahnya yang sederhana. Dengan senyum sumringah sesosok laki-laki keluar dari dalam rumah joglo kecil itu. Tangannya menenteng beberapa buku pelajaran agama. Dandanannya sederhana namun rapi. Dialah Darusman, suami Tasiyem. Pagi itu seperti hari-hari biasanya, ia akan pergi ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) tempat ia biasa mengajar.

Selain mengajar di MI, tiap sore hari diisinya dengan member tausiyah di masjid dekat rumahnya. Saat-saat bersamanya merupakan kenangan yang tak terlupakan bagi Tasiyem. Namun, kini semuanya telah berubah. Tak terasa beberapa butir air mata membasahi pipinya yang mulai keriput.

Tasiyem tersadar. Itu hanyalah kenangan. Suaminya kini telah tiada. Ia meninggalkan dunia fana ini ketika Tasiyem mengandung anak keempatnya. Saat itu kandungannya baru berusia delapan bulan. Ekonomi keluarganyapun perlahan melemah usai kematian suaminya.

Kesedihan yang ia rasakan karena kematian suaminya berdampak bagi kandungan Tasiyem. Ia menjadi sering sakit. Akibatnya kondisi kandungannya terganggu. Karena seringnya ia berobat dan mendapat suntikan (injeksi), ketika anak keempatnya lahir diberi nama Jeksinatun. Nama Jeksinatun sendiri terinspirasi dari kata injeksi.

Setelah beberapa hari berpikir, Tasiyem akhirnya membuat keputusan besar dalam hidupnya. Setiap selesai musim tanam, ia akan ke Jakarta. Dengan keberanian yang dikumpulkan, ia menyampaikan keinginannya itu kepada empat orang anaknya.

Suryati, Suryatun, Surmiyati dan Jeksinatun awalnya menentang keras keinginan ibunya itu. Mereka khawatir dengan keadaan Tasiyem kalau sampai berada jauh, apalagi Jakarta. Ia tak punya sanak family di sana.

Namun, tekad Tasiyem begitu membara. Ia tak ingin menyusahkan keempat anaknya. Mumpung ia masih sanggup bekerja, ia ingin membantu mereka. Lagian dirinya tak akan lama tinggal di sana. Hanya satu atau dua bulan saja. Menjelang masa panen datang, dia akan kembali ke kampung. Ia ingin menjadi orang yang berguna. Ia ingin membahagiakan anak serta cucu-cucunya.

Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya berangkatlah Tasiyem ke Jakarta. Bersama Djiah temannya, Tasiyem kemudian tinggal di sebuah kontrakan kecil di dekat jembatan di daerah Jatinegara. Dua minggu ia tinggal di sana.

Minggu-minggu pertamanya di Jakarta, bukanlah saat yang mudah bagi Tasiyem. Ia tak tahu harus berbuat apa. Suasana kota Jakarta yang begitu berbeda dengan desanya membuatnya kaget. Matanya kagum oleh pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di Jakarta. Mal-malnya tampak begitu megah dipandang. Orang-orang dengan dandanan necis tampak berseliweran di mana-mana.

Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah pameran kemewahan. Kemewahan itu begitu menyengat ingatannya. Semuanya nyata namun terasa maya baginya.

Tasiyem tersentak dengan realitas yang ada. Ia bukan bagian dari kemewahan itu. Ia hanya janda kampung yang kini menumpang tinggal dengan sahabatnya di sebuah kontrakan yang sangat kecil. Bising, kepulan asap senantiasa menemani hari-harinya di situ. Tak ada lagi semilir angin dusun. Kicauan burung di pagi hari kini berganti dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga. Lambaian padi-padi yang menguning pun jauh dari pandangan.

Ia tinggal di Jakarta. Minggu pertama Tasiyem ikut Djiah ke Pasar Beras Cipinang. Ia memperhatikan temannya itu bekerja. Djiah menyapu, mengumpulkan kemudian mengayak beras yang berserakan di lantai aspal.

Minggu pertama ia hanya melihat. Ia masih malu dan ragu. “Apakah boleh memungut butiran beras-beras yang berserakan itu?” piker Tasiyem dalam hati.

Minggu kedua, ia kembali ke Pasar Beras Cipinang. Kali ini ragu dan rasa malunya telah hilang. Djiah sahabatnya rupanya berhasil meyakinkan Tasiyem. Sapu lidi dan kaleng bekas yang telah dilubangi kini siap di tangan. Srek….srek….srek….bunyi sapunya yang menyentuh lantai aspal di muka gudang-gudang penyimpan beras di Cipinang.

Dengan sabar dan telaten, Tasiyem memunguti butiran beras yang jatuh dari truk-truk pengangkut beras yang parker di pasar itu. Demi mendapat lima atau enam liter beras per hari, Tasiyem bekerja dari pukul enam pagi sampai pukul lima sore. Kalau pasokan beras sedang ramai, ia bisa mendapat sepuluh liter beras dalam sehari.

Beras itu biasanya akan langsung ia jual di pasar dengan harga 1500 rupiah per liter. Kalau tak ada pembeli, beras itu akan dibawanya pulang. Adzan lohor berkumandang. Ia segera bergegas ke mushola untuk shalat. Usai shalat dan makan siang seadanya, ia kembali bekerja.

Matahari tengah teriknya bersinar. Keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya yang kurus. Siang itu beras yang berhasil dikumpulkannya amatlah sedikit. Pasokan beras sedang sepi. Uang di kantong pun tak ada. Tasiyem kebingungan. Cacing-cacing di perutnya dari tadi sudah berdendang.

Pada saat itulah, seorang wanita tua menghampiri dirinya. Bu Ayah, nama perempuan itu. Dengan nada lembut Bu Ayah bertanya, “Ibu tinggal di mana? Hari ini dapat berapa liter?”

Bagi Tasiyem, perjumpaannya dengan Bu Ayah merupakan berkah tersendiri. Tasiyem kini tak perlu menumpang di kontrakan sahabatnya. Ia bisa mandiri. Bu Ayah yang memiliki warung makan Padang di Cipinang, menawarinya tempat tinggal.

Awalnya ia ragu. Ia tak kenal orang ini, pikirnya. Namun melihat ketulusan sikap yang ditunjukkan Bu Ayah, ia menjadi yakin untuk tinggal bersamanya.

Hari masih gelap. Ayam jago belum berkokok. Udara terasa dingin menusuk kulit. Jarum jam baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Di sebuah dapur rumah sederhana di kawasan Cipinang, Tasiyem tengah sibuk menanak nasi dan memasak sayur. Tiap pagi itulah kegiatan rutin yang ia lakukan di tempat barunya. Ia membantu Bu Ayah di dapur.

Matahari mulai menyingsing dari ufuk timur. Usai shalat subuh, dengan berjalan kaki sekitar setengah jam Tasiyem bergegas membawa masakan-masakan itu ke Pasar Beras Cipinang, tempat ia biasa bekerja. Warung Bu Ayah ada di sana.

Tasiyem kini sudah 12 tahun bolak-balik Jakarta-Cilacap. Usianya pun sudah menginjak 55 tahun. Selain dipercaya Bu Ayah, kini ia kerap dimintai tolong untuk mencarikan pembantu rumah tangga. Adalah teman-teman Bu Ayah yang kerap menggunakan jasanya.

Mereka akan menelpon Tasiyem bila butuh pembantu. Untuk jasanya itu ia akan mendapat imbalan lima puluh ribu rupiah. Dengan catatan si pembantu itu sudah betah selama satu minggu di tempat kerjanya. Namun bila sebaliknya, uang itu akan dikembalikannya.

Ia menyimpan sepenggal cerita tentang pekerjaan sampingannya itu. Ia pernah berjalan kaki dari Roxy ke Cipinang. Ceritanya sehabis mengantar calon pembantu ke daerah Roxy, dirinya hanya diberi 5000 perak saja sebagai ongkos jalan. Takut tak cukup, ia akhirnya memutuskan berjalan kaki.

Tak hanya dari Roxy ke Cipinang saja yang pernah ditempuhnya. Pulogadung, Pondok Kelapa, Kampung Melayu, dan setengah perjalanan dari Grogol ke Cipinang pernah dilaluinya dengan berjalan kaki. Tasiyem nampaknya wanita yang tangguh, meski kehidupan Jakarta begitu keras, namun ia tetap merasa bersyukur dan gembira.

Hanya satu hal yang membuatnya sedih selama tinggal di Jakarta. Ketika senja tiba, ia selalu teringat kampung halamannya. Matanya tak kuasa menahan butiran hangat dari kedua belah matanya. “Saya ingat di kampung. Saya ingat pengajian di sana, walau di sini ada, tapi rasanya berbeda”, ucap Tasiyem sambil menitikkan air mata. Senja di Jakarta menggugah kerinduan pada kampung halamannya.

Tuesday 11 May 2010

Each Day is A Struggle

Each day is a struggle,
smile for the people.
Inside I am dead.

I dream of living again
to hold and be held.
To know relief.

Life is an Adventure

I think a desire for an adventure is human nature. This passion does exist within your soul in so many forms. Some of you maybe like to go traveling, like to climb a mountain, go diving, go surfing, go skiing, go rock climbing, go rafting, go around the world with bike, or wander into the forest. Some of us maybe just like to stay home with their family.

Adventure is unique. Adventure is not always about going to different places or doing an activity that can rush your adrenalin. If you can’t go anywhere, don’t be gloomy, you can still experience and explore the world. Life is a long journey, full of adventures and surprises. By enjoying this life with spoonful of spirit, you set off for a long adventure!

Monday 10 May 2010

Batik


pic: golbiink.files



pic: gogirlmagz



Tonight, what is there in my mind is batik. Hmmm…. I guess it because some days ago my sister promised to give me batik as a present. Yeah…it is one of the reasons, but the other reason is I want to introduce batik to my friends who come from abroad and haven’t known yet about batik.
Hahahaha…I guess that’s enough for me to deliver a speech. Now, here we go…..

What is Batik?
Batik is a unique form of Indonesian art, a combination of artistic expression and technical skill. To make batik is using beeswax, paraffin, and multi colours dyeing on pieces of clothing. In Indonesia, there are some regions which famous as as “Batik City” such as Pekalongan, Yogyakarta, and Solo.
Based on the technique used, batik falls into three categories: hand waxed, hand stamp, and the combination of two. Batik that used hand waxed is done with “chanting”, a tool which is made of brass or copper. For the hand stamp batik, they use a cooper stamp with various designs; while batik combination is the result of combining “chanting” and the stamp technique.

Batik Quality
Talking about batik quality is determined by the intricacy of the motif, the technique used, and the kind basic cloths. Good material usually will effect to the batik price.

Colour and Motif
Originally, both colour and motif were very much influenced by the surrounding nature or belief system such as plants, especially flowers like the jasmine; animals like the mythological Garuda bird and divinely inspired creation motifs. The dominant colour is blue or black symbolize water and air.

Harvest Time

Musim panen adalah saat yang dinanti-nantikan oleh para petani, baik petani pemilik maupun penggarap. Semuanya terlibat dalam suka cita. Siang itu, saat panen raya di kampungku. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, langsung saja kusambar kamera poketku dan segera meluncur ke sawah yang tak jauh dari rumah. Matahari saat itu lumayan terik bersinar tapi tak menyurutkan langkahku untuk tetap memotret kegiatan para petani tersebut. Trengggg teng teng....berikut hasil jeprat-jepret isengku. ^_^






Saturday 8 May 2010

Balada Sang Penulis

Nama lengkapnya Hernani Sirikit. Tapi lebih akrab disapa Sirikit Syah. Lahir di Surabaya, 28 Juli 1960 ia merupakan anak ke- 6 dari 7 bersaudara. Independen, begitulah salah satu penulis berbakat Indonesia ini menggambarkan dirinya.

Ia menyebut dirinya sebuah kombinasi antara intelektualitas yang diperoleh dari pendidikan dan pengalaman manca negara dengan tata krama dan budaya Jawa/Indonesia yang masih kental. “Saya kalau pidato pakai bahasa Inggris –saya sudah berceramah di empat benua- bahasa Inggris saya lancar tetapi beraksen Jawa alias medhok. Biasanya orang kalau ketemu saya bilang begini: ”Kok gak seperti tulisannya ya?” Maksudnya, tulisannya tajam, tapi orangnya lembut hehehe,” cerita Sirikit tentang dirinya.

Ibunya yang berpendidikan kelas tiga SD saja, merupakan anak petani dari Kediri. Sementara ayah kandungnya dari keluarga guru di Madiun, kemudian menjadi perwira angkatan laut dengan komunitas ‘borju’nya.

“Kata orang, ayah saya mendidik gadis desa tak berpendidikan (ibu saya): kursus menjahit, memasak, danda-dansi, membawa ke pergaulan tingkat atas, membelikan pakaian dan barang-barang perempuan lain yang indah dan mahal,” cerita Sirikit.

Kenangan indah tentang sosok sang ayah hanya didapat Sirikit dari cerita saja. Ibunya menjadi janda pada umur 29 tahun dengan tujuh anak. Kala itu Sirikit baru berusia 2,5 tahun. Bisa dibayangkan, seorang ibu muda harus mengurus ketujuh anaknya sendirian. “Jadi, saya tidak kenal ayah saya. Untungnya, almarhum ayah meninggalkan harta yang lumayan,” katanya.

Ibunya menjadi janda kaya. “Namun ibu memilih suami baru (papi tiri) yang tidak peduli pendidikan,” ujarnya yang bercerita bahwa ditambah 3 anak dari papi tiri plus 2 anak papi dan ibunya, keluarga Sirikit menjadi 12 orang. Sementara Kekayaan keluarga lama-lama habis.

Keluarga Sirikit tinggal di kawasan elite Surabaya. Meski begitu, kalau bersekolah, Sirikit ikut gerobag sapi yang lewat. Gerobag sapi itu dari Wonokromo ke Pelabuhan Kalimas, melewati ujung jalan rumah Sirikit dan sekolahnya. Gerobak itu mengangkut barang dagangan. “Kami nggandhol (numpang) di belakangnya,” ceritanya.

Ironi dialami Sirikit dan sudara-saudaranya. Mereka tak boleh bersekolah lagi setamat SMA. “Kalau ada yang kuliah, seperti saya, pasti yang membayar kakak yang sudah bekerja atau dapat beasiswa,” ungkapnya.

Saat kecil, Sirikit mengaku suka membaca komik di bawah meja makan (sembunyi). Menurutnya, ia tak pernah punya buku sampai usia 17 tahun. “Buku tak dikenal dalam keluarga kami ketika saya masih kecil,” ceritanya.

Hadiah ulangtahun ke-17 dari sahabatnya ”The Diary of Anne Frank” diaku sebagai buku koleksi pertamanya. Dan ketika akhirnya ia punya uang sendiri (memperoleh beasiswa semasa kuliah), Sirikit menjadi gila buku.

“Kini rumah saya memiliki sebuah perpustakaan pribadi yang koleksinya cukup membanggakan. Paling banyak tentang media & jurnalisme, sastra & budaya, filsafat, pendidikan, dll. Anak-anak saya limpahi buku-buku sejak mereka masih bayi,” ungkap ibu 2 anak ini sambil tersenyum.

Kurangnya perhatian orang tua soal pendidikan, tak membuat Sirikit menjadi pribadi yang kuncup. Dulu di bangku kuliah, wanita yang menempuh S1 di IKIP Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa Inggris ini adalah mahasiswa yang super aktif. Ia bisa mengarang (bahkan karangannya itu berhasil memenangkan beberapa lomba mahasiswa se-Indonesia), bisa menyanyi, bemain gitar, menari dan bermain drama.

Karena suka ‘ngamen’ (menyanyi atau membaca puisi di panggung), tak heran sewaktu mahasiswa ia menjadi sosok yang sangat terkenal tak hanya di kampus IKIP Surabaya tetapi juga di kampus-kampus lain. Selain kegiatan itu, Sirikit juga terkenal karena suka menulis artikel di koran.

Selesai S1, Sirikit bekerja sebagai reporter dan desk editor di Surabaya Post daily, Surabaya (1984-1990). Tahun 1992-1994 karirnya diawali menjadi reporter, produser, hingga akhirnya menjadi koordinator liputan untuk wilayah Indonesia Timur untuk SCTV dan RCTI (ketika kedua stasiun bersatu dalam program “Seputar Indonesia”), berbasis di Surabaya.

Pada 1990-1996 karirnya makin moncer. Ia menjadi reporter, script editor, coordinator liputan, prrodesur program berita dan asisten manager News Department di SCTV, berbasis di Surabaya. Lepas dari SCTV, menjadi koresponden freelance di The Jakarta Post Daily, berbasis di Surabaya, reporter magang di CNN, Washington D.C dan WHTV-5, Syracuse, NY, USA.

Otaknya yang encer serta keaktifannya di berbagai kegiatan pun berhasil mengantarkan Sirikit untuk menimba ilmu di luar negeri. Tahun 1994-1995, ia berkesempatan belajar tentang ‘American Culture and Communication’ di UCLA Davis, USA (Extension Class, Summer Program). Belajar di Public Communication School, bidang Broadcast Journallism, University of Syracuse, Syracuse, NY, USA (1994-1995). Tahun 2002, Sirikit berhasil meraih gelar Master Komunikasi di Westminster University, London, UK.

Pengalamannya di masa kecil, nampaknya melecut semangat Sirikit untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. “Soalnya, dulu dari 12 anak (Sirikit dan saudara-saudaranya) yang jadi sarjana tak sampai separuhnya. Jadi, saya tidak berasal dari keluarga berpendidikan atau beragama,” tuturnya.

Sirikit menyebut orantuanya abangan. Tak ada pelajaran mengaji atau salat di rumah. Sirikit kemudian menikahi lelaki dari keluarga yang taat beragama. Ia mengaku masih proses belajar dalam hal agama. “Pendidikan dan bacaan merupakan prioritas dalam keluarga baru saya. Anak-anak sudah kuliah, yang satu semester 6 Sastra Unair, satunya semester 2 Design ITS”, ceritanya.
Sementara soal papi tiri? Sirikit tak bisa bercerita. “If you cannot say something nice, don’t say it at all,” jelasnya.

Bakat Menulis
“Saya mulai menulis sejak SD, dimana saya membuat majalah dari buku tulis,” cerita Sirikit. “Majalah” itu berisi cerita mini, puisi, gambar kartun, dll. “Majalah” itu ia edarkan pada teman-temannya untuk dibaca bergantian sambil menunggu terbitnya majalah Si Kuncung.

Karena tak ada dorongan dari guru atau orangtua, bakat menulis tersebut mati pada tingkat SLTP. Di SMAN 5 Surabaya, Sirikit aktif lagi mengisi Media Siswa dan mendapat respons sangat bagus dari kawan-kawannya. Saat itu ia tambah bersemangat karena mendapat dorongan dari guru bahasa Indonesianya Pak Handoko. Kata Pak Handoko sekitar 30 tahun yang lalu: ”Sirikit, kalau kau teruskan menulis, kau akan menjadi penulis yang hebat.”

Bagi Sirikit dorongan Pak Handoko itu sangat berkesan. Di sinilah arti penting seorang guru: sebagai motivator. Di IKIP Negeri Surabaya, perempuan kelahiran Surabaya ini kembali menemukan inspirator, yaitu Pak Budi Darma (pengarang Olenka dan Orang-orang Bloomington, penerima penghargaan sastra Asean. “Dia terus memacu saya untuk berkarya”

Sisi Getir
“Ibu saya sudah meninggal dunia, juga papi tiri saya. Hal menyedihkan yang sering merisaukan saya adalah: mengapa saya tidak sempat mengenal ayah saya, yang kata orang-orang ’a real gentleman’; Mengapa ibu menikah lagi (tidak seperti ibu-ibu janda lain yang bekonsentrasi mengasuh anak-anaknya sampai jadi orang); Dan mengapa saya tidak pandai mengaji?”

Meski pertanyaan-pertanyaan tersebut merisaukannya, Sirikit mengaku selalu berpikir positif dan mendoakan ibunya. ”Kalau ibu saya tidak begitu dan hidup saya ketika muda sangat mulus, mungkin saya tidak menjadi Sirikit Syah seperti yang dikenal orang sekarang. Ibu membiarkan saya menjadi apa saja. Dengan tak adanya pengarahan dan pendidikan, saya justru bisa menjadi diri saya sendiri. Thanks to my mom, apapun kekurangannya.”

Sirikit mengaku mengagumi sosok ibunya yang mengasuh 12 anak dan selalu menyediakan makanan lengkap di meja makan tiga kali sehari. “Sekarang dengan dua anak saja, saya kadang luput menyiapkan makanan di meja,” ungkapnya tersenyum.

Aktivitas
Sekarang ini dalam sehari sedikitnya Sirikit berada 8 jam di depan komputer. Kadang bisa sampai 12 jam atau lebih. Ia membaca, merespons email, merancang (mengkonsep) pengembangan Klub Guru dan LKM Media Watch, menulis artikel untuk media massa, menterjemahkan, mengarang karya sendiri, dan tentu saja mengikuti perkembangan dunia media massa dan jurnalisme, pendidikan, kebudayaan di tanah air dan dunia pada umumnya.

Alasannya intens mengamati perkembangan berita yang ada karena tuntutan pekerjaannya sebagai pengamat media. “Saya harus tahu perkembangan teori dan praktik jurnalistik di dunia. Saya juga harus tahu bagaimana kebebasan pers ini memberi manfaat bagi rakyat Indonesia atau menimbulkan kasus-kasus yang menjadi tantangan dalam penerapan etika dan hukum media,” ujarnya.

“Sekarang saya tidak lagi menjadi wartawan,” ungkap Sirikit.
Sejak tahun 1999 dia mendirikan Lembaga Konsumen Media (Media Watch). Menurut Sirikit boleh dikatakan dialah yang pertamakali mendirikan organisasi pengawas media di Indonesia, juga yang menemukan istilah ”konsumen media” dan mempopulerkan kata ”media watch”.

Ia mengatakan, ketika dirinya mula-mula aktif di gerakan itu, semua orang media masih mabuk dengan kebebasan pers. “Saya sekian langkah di depan mereka. Waktu itu saya dimusuhi, dianggap aneh-aneh, ikut campur, nggembosi, dll. Namun dalam perjalanan waktu, justru masyarakat media sendiri yang menjadi pendukung utama saya, selain masyarakat konsumen dan masyarakat sumber berita,” ceritanya.

Menilai media massa telah berjalan baik dan jurnalisme juga makin meningkat kualitasnya, Sirikit mengaku agak beralih perhatian. Perhatiannyya sekarang di dunia pendidikan.

“Kami mendirikan Klub Guru, sebuah asosiasi guru independen. Pemikiran kami: bila politik sudah bebas, dan pers sudah bebas, pendidikan yang belum bebas/gratis (masih sagat mahal) menghadapi tantangan luar biasa. Harus ada yang peduli. Di tangan para gurulah bangsa kita dibentuk. Apa jadinya Indonesia 20-30 tahun lagi berada di tangan para guru masa kini?” ungkapnya.

Di Emper Toko Ku Berlindung!

Matahari sedang teriknya bersinar di atas ubun-ubun kepala. Hiruk-pikuk kendaraan dari berbagai macam merek melintas bagai arak-arakkan yang tak ada hentinya. Di sebuah sudut trotoar di jalan Jenderal Soedirman Purwokerto nampak duduk seorang laki-laki tua dengan baju lusuhnya. 100 meter dari tempat Pak Tua duduk, berdiri megah sebuah swalayan papan atas di Kota Satria. Seperti hari-hari biasanya, banyak orang berbaju necis lalu-lalang meuju tempat belanja yang ber-AC itu. Tak jauh dari tempat itu juga berdiri komplek pertokoan simbol-simbol kemapanan di kota satria itu yang ramai pengunjung. Sementara di sudut trotoar dekat lampu merah itu, sang kakek hanya bisa memandang tanpa pernah mampu untuk ikut mencicipinya..

Lalu lalang berbagai macam kendaraan yang melintas di depannya tak membuat kakek tua ini bergeming dari duduk tenangnya. Sebuah kantong kain lusuh nampak tak jauh dari tempat duduknya. Matanya merah dan tak lagi bisa melihat dengan awas. Pendengarannya juga tak lagi berfungsi dengan baik. Tanpa alas dia duduk dengan tenang di trotoar yang kotor berdebu. Di tangannya tergenggam sebuah gelas plastik bekas tempat minuman.

Wajah keriputnya nampak kotor dengan debu. Kaos lorek dan celana panjang coklat kucel membalut tubuhnya yang kurus renta. Tangan keriputnya tak henti-hentinya bergerak, tentu bukan karena keinginannya, melainkan karena Parkinson yang dideritanya selama bertahun-tahun.

Pak tua itu adalah seorang pengemis...Yah, sebuah profesi yang terpaksa harus dia jalani demi bertahan hidup. Namanya Hartono, 70 tahun, kakek tua asal Pasir Muncang, Purwokerto ini terpaksa menjalani sebagian hidupnya dengan menjadi seorang pengemis. Kakek beranak satu ini, terpaksa menjadi seorang pengemis karena hidupnya yang kurang beruntung. Sewaktu muda ia ikut bekerja di tempat saudaranya di Kroya, Banyumas. Namun ia merasa kurang dimanusiakan di tempat saudaranya tersebut.

Meskipun bekerja, ia tidak mendapatkan haknya dengan layak. “Seg taksih nem, kula ngawula teng nggene sedereke, ning mboten tau diparingi arto. Kula namung diparingi maem kali ditumbasna pakaian sepisan setahun, niku mawon namung pas Bada”(Waktu masih muda, saya bekerja di tempat saudara, tapi saya hanya diberi makan dan pakaian sekali dalam setahun, itu saja pas lebaran) ujarnya. Ia tidak pernah mendapatkan bayaran atas kerja yang ia lakukan. Karena tidak kuat dengan perlakuan saudara kandungnya maka ia memutuskan untuk meninggalkan rumah saudara kandungnya tanpa pamit. Tujuannya hanya satu, mencari kehidupan yang lebih baik di kota.

Namun, tak semua impian bisa menjadi kenyataan. Tanpa keterampilan dan hanya bermodah ijasah SD membuatnya tak bisa meraih apa yang ia citakan. “Kula niki tiang bodo, wong sekolahe namung ngantos SD” (Saya ini hanya orang bodoh, sekolah saja cuma sampai SD), ucapnya sambil matanya menerawang ke langit.

Sementara hidup harus berjalan, kita perlu makan untuk hidup, atas dorongan itulah dia membuang rasa malunya dan memberanikan diri bekerja sebagai seorang pengemis. Sementara di rumah reotnya yang sekarang, Ajibarang, Purwokerto, istri dan anaknya bekerja sebagai pemulung. Mereka berangkat dari rumah semenjak pagi dan baru pulang ke rumah menjelang sore bahkan kadang sampai malam.

Ayah dari Sukardi ini mengatakan, setiap malam ia harus tidur di emperan toko yang dingin, karena tak ada tempat lain yang bisa ia gunakan untuk berlindung dari udara malam yang dingin. Pak tua ini pernah digarok oleh petugas pemerintah beberapa kali, namun tidak ada pelatihan ataupun pembinaan yang sekiranya bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. “Pas digarok nggih namung ditakeni asale pundi, trus diwangsulna teng asale kali disukani rames tigo bungkus”(Pas digarok cuma ditanya asalnya mana, trus dipulangkan ke tempat asal sambil diberi nasi tiga bungkus ), ujarnya dengan suara lirih.

Nasib serupa juga dialami oleh Mbok Ridem, 80 tahun perempuan tua asal Kauman Lama, Purwokerto ini terpksa menghabiskan sebagian hidupnya di emperan pertokoan. Tubuhnya yang renta dan tak lagi lurus harus berjuang melawan teriknya sinar matahari dan dinginnya air hujan yang kerap menghiasi hidupnya. Ibu dari tiga anak ini dulunya berjulan nasi bungkus keliling, namun karena saingan yang semakin hari semakin banyak dan tingginya harga barang-barang belanjaan yang semakin mencekik leher membuatnya harus tersisih sampai akhirnya ia menjadi seperti yang sekarang ini.Maklum ia hanya orang yang menjualkan nasi-nasi bungkus milik orang lain.

Hari itu nenek becucu 6 itu baru mendaptkan 5000 perak meskipun sudah duduk dari pagi, ia mengatakan ini hari yang sepi. Banyak orang-orang berpakaian necis melenggang di depannya namun sangat jarang yang mau bersedekah kepadanya. Nenek yang sudah cedal itu mengatakan dari pagi ia belum makan apapun. Jangankan untuk membeli minuman segar yang ada di depannya ia mampu, untuk ongkos pulang ke rumah saja rasanya tidak cukup.

Ketika ditanya mengenai harapannya pada pemerintah, istri dari Almarhum Nuradi ini mengatakan “Lah, kulo ta mboten ngarepna napa-napa”(Lah, saya tidak berharap apa-apa). Ucapan, mbok Ridem dan kek Hartono sama, mereka tidak mengharapkan apa-apa dari pemerintah, jangankan berharap, perhatian dan perlindungan yang seharusnya diberikan pemerintah pada orang-orang seperti merekapun tidak pernah mereka rasakan. “Lah, mboten wonten bantuan napa-napa saking pemerintah, malah sing sering namun digarok”, papar Kek Hartono dan Mbok Ridem.

Warna-Warni Java Jazz




Well open up your mind and see like me
Open up your plans and damn you're free
Look into your heart and you'll find love love love
Listen to the music of the moment maybe sing with me
A lá peaceful melody
It's your God-forsaken right to be loved love loved love loved

Lagu I’m Yours mengalun indah. Ribuan penonton yang memadati Exhibition Hall B, Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta ikut bernyanyi mengikuti suara renyah Jason Mraz. Penyanyi dan penulis lagu asal Amerika Serikat ini mampu menghipnotis penonton.

Jason Mraz memang bukan penyanyi bergenre jazz, namun kehadirannya tak pelak merupakan salah satu alasan mengapa begitu banyak penonton, terutama ABG datang ke JJF pada hari pertama dan kedua (6 dan 7 Maret 2009). Dengan gaya busana santai dan mengenakan topi khas yang menjadi andalannya, Jason dengan sempurna memanjakan telinga para penggemarnya.

Pada hari pertama, penyanyi keturunan Cekoslovakia ini tampil di Stage 2 Exhibition Hall B sekitar pukul 18.50. Ia tampil membawakan 12 lagu di antaranya Make It Mine, The Remedy, Butterfly, Lucky, dan tentunya I’m Yours.

Hari kedua Jason tampil di Plenary Hall. Ketika layar panggung dibuka, Jason langsung disambut teriakan histeris penonton. Penyanyi yang musiknya terpengaruh reggae, pop, rock, folk, jazz, dan hip hop ini berkali-kali menyapa penonton dan mengajak mereka untuk bernyanyi dan berjoget. Selain itu, ia juga memfoto para personel band pengiringnya termasuk dirinya dengan kamera polaroid kemudian melemparnya ke arah penonton. Penampilan penyanyi yang pernah belajar di American Musical Dramatic Academy, New York ini juga ditonton oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan rombongannya yang duduk di balkon atas.

Selain Jason Mraz, penonton JJF 2009, juga dimanjakan oleh penampilan Matt Bianco. Saat jumpa pers sebelum pentas di Plenary Hall, Matt Bianco mengaku merasa bangga bisa tampil di JJF. Menurut personel Matt Bianco, Mark Fischer, Matt Bianco belum pernah tampil di Indonesia sejak pertunjukan mereka terakhir pada 1990. Fischer yang ditemani personel Matt Bianco lainnya, yaitu Mark Reilly berharap album terakhir Matt Bianco yang telah dirilis di Jepang dan Korea pada bulan Maret ini bisa segera dirilis di Indonesia.

Pada hari ketiga penyelenggaraan JJF, antrian padat penonton kembali terjadi, terutama di depan pintu masuk Plenary Hall, tempat Bryan McKnight tampil. Malam itu, McKnight memang jadi sorotan paling dinanti. Sejak pukul 18.30 WIB ribuan penonton telah membludak menuju Plenary Hall padahal pertunjukan baru mulai satu setengah jam kemudian. Terlambat 30 menit dari waktu pertunjukan seharusnya.

Aksi McKnight yang romantis dengan bumbu humoris, mengobati penantian panjang penonton. Lagu pertama penyanyi asal New York ini, Used to be My Girl, membuat penonton berteriak histeris. Belum lagi, McKnight mengatakan sedang ingin mencari seorang pendamping karena sekarang dirinya tengah sendiri.

“Saya ingin mengundang seorang wanita yang juga single untuk menemaniku di sini dan menarilah dengan bagus supaya saya bisa menentukan pilihan,” ujar pria kelahiran 5 Juni 1969 yang lagi-lagi membuat para penonton perempuan histeris sambil mengangkat tangan mereka berharap akan dipilih.

Keberuntungan jatuh pada gadis bernama Angel. Angel naik ke atas panggung dan menemani sang idola. McKnight menghadiahi Angel rayuan maut dan sekuntum mawar merah. Dengan bersimpuh McKnight menyanyikan lagu Still in Love dilanjutkan dengan lagu I Do.
McKnight memainkan hampir seluruh lagu andalannya dalam waktu satu jam. Di tengah pertunjukan, pria yang juga penulis lagu dan produser musik ini mengundang kedua anaknya, Brian Junior dan Niko untuk menyumbangkan beberapa lagu. Mereka punya suara yang tak kalah hebat dari ayahnya. Malam itu, McKnight melengkapi penampilannya dengan lagu-lagu seperti Show Me the Way Back to Your Heart, One Last Cry, dan Back at One.

Di antara ribuan penonton yang memadati Plenary Hall, nampak Miranda Goeltom. Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia itu terlihat sangat antusias menonton penampilan McKnight. Miranda bahkan tak segan ikut bergoyang mengikuti alunan lagu McKnight. Di tempat lain, penonton yang tak membeli tiket McKnight tampak ruah di pentas Kla Project juga Tohpati.

Selain musisi-musisi tersebut, JJF yang mengusung tema It’s a Festival for All didukung oleh sederet artis ternama dalam dan luar negeri, tidak hanya jazz, namun berbagai genre lainnya seperti Laura Fygi, Swing Out Sister, New York Voices, Mike Stern, Ivan Lins, Alex Ligertwood & David Garfield, Vinny Valentino, Diana Reeves, Benny Likumahuwa, Oele Pattiselanno, Bob Tutupoly, Syharani & Queen Firework, Slanks, Glenn Fredly, Tompi, Ecoutez, Zarro, Ran, dan banyak lagi lainnya.

The Storioni Trio’s Performance


This is my opinion about The Storioni Trio when they performed in Indonesia in February 2009.
I was so impressed with the Storioni Trio’s performance at Erasmus Huis, Jl. H.R. Rasuna Said kav.S-3 Kuningan-Jakarta. They performed great music. They play with great intensity and feeling in the slow movements and are lighter and even often joyful in the fast movements. No wonder if hundreds of audiences at Erasmus Huis gave them big applause.

Biography

The Storioni Trio was founded in 1995 by Bart van de Roer (piano), Wouter Vossen (violin) and Marc Vossen (cello). The trio derives its name from the Laorentius Storioni violin from Cremona, which dates from 1794 and is played by Wouter Vossen. Marc Vossen plays a Giovanni Grancino cello from Milan, dating from 1700. In order to develop its ensemble-playing, the trio has worked over the years with great musicians such as Isaac Stern, Mstislav Rostropovich, Menahem Pressler, and Ralph Kirshbaum, as well as members of the Emerson Quartet and the Vermeer Quartet.

The Storioni Trio regularly performs at all major venues in the Netherlands, such as the Concertgebouw in Amsterdam, the Doelen concert hall in Rotterdam, and the Muziekcentrum Vredenburg in Utrecht.

The trio is also highly active on an international level, giving concerts at the most important music centres in the world, such as the Weill Recital Hall (Carnegie Hall), the Frick Collection in New York, and the Wigmore Hall in London. Moreover, the trio regularly performs at various festivals a.o. Kuhmo Chambermusic Festival and Osnabruck Kammermusiktage, gives concerts throughout Europe, and goes on tour to India, the Middle East, Japan and the United States.

The Storioni Trio offers an expansive repertoire ranging from Haydn and Mozart via Beethoven, Schubert, Brahms, Ravel and Shostakovich, to exciting works by contemporary composers. Composer Kevin Volans wrote a triple concerto for the 10th anniversary of the Storioni Trio. The trio has received various prizes and awards, and performs regularly on radio and television. The CDs recorded by the Storioni Trio Amsterdam have all received great critical acclaim.

www.storionitrio.nl

Bemo Bertahan di Tengah Gerusan Zaman

Usianya hampir setengah abad. Namun kendaraan beroda tiga yang dikenal dengan becak motor (bemo), hingga kini masih hadir menyusuri sejumlah jalanan di ibu kota. Meski makin terpinggirkan, bemo mencoba bertahan di tengah moda transportasi kota Jakarta yang terus berkembang.

Kendaraan umum keluaran tahun ‘60an yang pertama kali diresmikan beroperasi sekitar tahun ‘71an oleh Pemda DKI ini mungkin identik dengan Jakarta. Di ibukota, bemo pernah berjaya di masanya sebagai kendaraan umum populer dan banyak digunakan orang dari berbagai kalangan. Namun seiring waktu, keberadaannya makin tersingkirkan. Bahkan di Bogor, kendaraan roda tiga ini oleh Pemda setempat sudah "dipensiunkan" sejak bulan Pebruari 2008.

Sebagian orang menganggap bemo akan punah digantikan angkutan umum yang baru seperti angkotan kota, bus, taksi, busway, kancil atau bajaj. Namun, umur kendaraan roda tiga yang awalnya didatangkan dari Jepang ini ternyata panjang.

Usia memang menyebabkan sebagian besar bemo tak lagi elok dilihat. Peyot, cat kusam, dempul di sana-sini adalah pemandangan yang lazim kita jumpai. Tapi itu tak jadi soal. Meski dengan suara cempreng, bemo masih kuat menampung tujuh orang penumpang. Enam orang duduk di bangku belakang, satunya di samping sopir.

“Saya berharap kendaraan ini akan terus eksis,” ujar Pak Aning, pengemudi bemo di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Bagi kakek 10 cucu yang kini berusia 60 tahun ini, bemo adalah bagian dari sejarah hidupnya. Lebih dari 40 tahun, ia menjadi sopir bemo dan hingga kini profesi tersebut masih dijalaninya.

Kakek asal Lewilyang, Bogor ini mengaku sempat merasakan masa kejayaan bemo sebagai moda transportasi di Jakarta. Tahun ‘70an, penumpang bemonya sangat banyak, bahkan dari berbagai kalangan. Dalam satu hari kerja, pendapatan bersih yang bisa dibawa pulang dirasa Pak Aning lebih daripada cukup. Ditambah lagi kemudahan sistem setoran kepada pemilik bemo. “Dulu setoran kepada pemilik bemo sistemnya bagi hasil. Jadi lebih meringankan kita. Beda dengan sekarang, yang ramai atau sepi penumpang tetap harus setor sekian rupiah tiap kali kita narik,” tuturnya.

Dari profesinya sebagai pengemudi bemo, Pak Aning dapat menyekolahkan anak-anaknya. Tapi kini, penghasilannya sebagai sopir bemo sudah jauh berkurang. Setelah taksi, bajaj, ojek, angkutan kota tambah banyak, ditambah lagi sekarang ada busway, pamor bemo makin redup. Trayek operasi bemo pun kian hari makin terbatas. Kini kendaraan roda tiga ini hanya beroperasi di trayek tertentu seperti di Benhil, Karet, Tanah Abang, Stasiun Jakarta Kota, Bendungan Hilir dan Grogol. “Yah, tapi bagi kami, mereka (tukang ojek, bajaj dan sopir kendaraan umum lainnya) sesungguhnya bukan saingan. Kan sama-sama cari makan,” ujar Pak Aning tentang pentingnya toleransi dan pengertian sesama pencari nafkah.

Menurut Pak Aning, menjadi sopir bemo juga sama seperti pengemudi angkutan umum lainnya. Ia dibebani berbagai setoran: untuk pemilik, uang parkir, dan biaya timer. Besarnya beragam, bergantung pada jauh dekatnya trayek yang dijalani. Misalnya, pengeluaran bemo yang beroperasi di Grogol, Jakarta Barat, berbeda dengan bemo yang ada di Benhil, atau di Tanah Abang.

Untuk Pak Aning, yang bemonya beroperasi di Grogol, Jakarta Barat, setiap hari ia harus setor ke pemilik sebesar Rp 40.000. Ongkos ngetem plus timer Rp 8. 000. Beli bensin campur, sehari rata-rata 7,5 liter. Jika penumpang sedang ramai, dari jam 6 pagi – 9 malam menarik bemo, Pak Aning mengaku setiap hari bisa mengantongi uang sekitar Rp30 ribu. “Tapi kalau sepi, paling hanya cukup buat makan saja,” ujarnya yang menyebut ongkos satu orang penumpang Rp 2.000.

“Sekarang, kalau dapat uang sebesar Rp 30.000 bersih per hari, itu sudah bagus,” tambahnya. Untuk menghemat pengeluaran, Pak Aning dan beberapa pengemudi bemo yang ditemui di Grogol, tiap malam tidur di bemonya. “Awalnya sih badan terasa sakit, tapi lama-kelamaan terbiasa juga. Yang penting beli obat nyamuk saja biar tak kena demam berdarah,” katanya tertawa.

Pak Aning dan kawan-kawannya tidak kos. Pakaian beberapa potong dan peralatan mandi, mereka simpan di bemo. “Untuk mandi dan mencuci, biasanya di kamar mandi umum dengan membayar Rp 1.000 rupiah sekali mandi atau mencuci,” ucap mereka kompak.

Jika sakit? Menurut Pak Aning dan kawan-kawannya, kalau hanya sekadar pusing atau masuk angin biasanya mereka tetap narik. Tapi kalau agak parah, biasanya mereka pergi ke dokter terdekat, langganan para pengemudi bemo. “Di Grogol sini, ada dokter baik hati yang mau mengobati kami secara cuma-cuma,” ceritanya.

Pak Aning dan kawan-kawan sesama pengemudi bemo merasa sangat bersyukur dengan keberadaan dokter tersebut. “Pendapatan dari menarik bemo sekarang ini kan sangat kecil, jadi peran dokter yang baik hati itu sangat membantu,” kata mereka yang mengaku tahu tempat praktek dokter itu, tapi sayang tak hafal namanya.

Menurut Pak Aning, jika ada pengemudi bemo yang sakit, kawan-kawan sesama pengemudi bemo biasanya akan mengumpulkan uang sukarela untuk membantu pengemudi yang sakit tersebut. “Jadi meski kami susah, kekeluargaan kalau bisa harus terjaga,” ujarnya.

Tak jauh dari tempat Pak Aning bicara, Pardi, pengemudi bemo asal Cirebon ini nampak sibuk di dalam bemonya. Wajah dan tubuh Fadli basal oleh keringat. Siang itu, bemonya mogok. Sudah setengah jam lebih diperbaiki tapi bemonya belum juga hidup.
“Ini ada mesin yang rusak,” ujar Pardi sambil mengutak-atik sebuah komponen bemo di kursi kemudi.

“Ini mogoknya agak lama. Padahal sejak subuh tadi, saya baru narik dua rit,” tambahnya yang menyebut jika hari itu, ia harus setor ke pemilik bemo Rp 40.000. Menurut Pardi, jika sampai sore bemonya tak bisa jalan, berarti dia harus merogoh koceknya untuk menutup uang setoran.

Layaknya benda tua, bemo kadang mudah rusak, jika tak terawat. Yang menelan biaya paling mahal adalah penggantian sumbu roda (as), yakni lebih dari Rp 220.000. Sementara untuk roda, paling tidak setahun sekali harus diganti.

Menurut Pardi, jika kerusakan bemonya ringan, biasanya sopir memperbaikinya sendiri. Tapi kalau kerusakannya berat, biasanya si pemilik bemo yang akan menanggung. Soal suku cadang bemo, kata ayah dua anak ini, bisa didapatkan di Grogol atau Tanah Abang.
Berkomentar soal penghasilan pengemudi bemo, Pardi sepakat dengan Pak Aning.

Menurutnya, sejak tahun ’97 penumpang bemo agak berkurang dibanding era sebelumnya. Dulu, sebelum banyak ojek, kredit motor murah, dan angkot, dalam sehari ia mengaku bisa mengantongi Rp 50. 000 – Rp 80.000 bersih. Dengan penghasilannya itu, ia mampu menyekolahkan dua orang anaknya, satu di SMA dan satu SD. Pardi makin bahagia, karena meskipun dirinya hanya seorang sopir bemo, anak pertamanya yang kini duduk di kelas satu SMA, nilai rapotnya selalu masuk 10 besar di sekolahnya.

“Kalau soal penghasilan, sekarang ini memang agak susah. Untuk mendapat Rp 40.000 per hari saja susahnya bukan main,” jelasnya.
“Untunglah istri saya di Cirebon sana bekerja sebagai penjahit. Jadi bisa bantu keuangan keluarga,” tambah Pardi.

Demi berhemat selama di Jakarta, pria yang sudah 10 tahun menjadi sopir bemo ini, kos satu kamar bersama dua orang temannya. “Biaya kos satu kamar Rp 250 ribu per bulan. Tapi jadi terasa lebih ringan karena dibagi dengan dua orang teman saya,” katanya.

Meski penghasilan sebagai pengemudi bemo kini jauh berkurang, namun ia mengaku akan tetap bertahan. Berbekal pendidikan yang hanya sampai SD, Pardi sadar akan sulit mendapatkan pekerjaan baru, jika berhenti jadi sopir bemo. Terlebih lagi, usianya sudah 42 tahun, jelas akan menjadi alasan. Beralih profesi jadi sopir angkot pun bukan hal mudah. “Setoran angkot per hari itu lebih dari Rp 130.000. Sulit bagi saya untuk mencapainya di tengah makin banyaknya angkot. Jadi selama bemo ini masih ada, saya akan tetap bekerja sebagai sopirnya,” ucapnya mantap.

Keinginan untuk bertahan sebagai pengemudi bemo juga diucapkan Haerul, 51 tahun. Bagi pria asal Betawi yang mengaku sudah jadi pengemudi bemo selama 30 tahun ini, kendaraan roda tiga ini banyak berjasa.

Dari penghasilan sebagai pengemudi bemo dibantu penghasilan istrinya yang bekerja sebagai penjahit di Slawi, Tegal, Jawa Tengah, ia mampu menyekolahkan ketujuh orang anaknya. Anaknya yang pertama dan kedua, bahkan dapat menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.

Bemo nampaknya meninggalkan kesan mendalam bagi sebagian warga ibu kota. Meski keberadaannya makin terpinggirkan oleh angkutan modern yang terus berkembang, masih adanya penumpang yang memilih bemo, menunjukkan keberadaan bemo sebagai salah satu moda transportasi yang masih dibutuhkan masyarakat. Suzan



.

Friday 7 May 2010

When you feel alone in a crowd


When you feel alone in a crowd,
When you feel isolated,
When you think no one can understand you,
When you feel neglected and rejected by others,
And when you hate your life.....
Just close your eyes and think about someone who loves you truly,
cares for you in your loneliness, and dies when you cry....
She is no one else but your MUM....

Who are You?


“Can you tell me something about yourself?” Huffff! What do you say?

I sometimes difficult to answer this typically question because the best way to come up with a description is to ask someone else to describe you. Yeah, describing yourself is not an easy thing to do. You don't want to be a spineless blob with no self-esteem; but you do want to remain as humble as you are naturally.

There are many ways to describe yourself and it is more than giving details of your appearance. This is only one aspect and people want to know more for knowing who you really are. The difficulty with describing yourself is that you give details from your own perspective and these are often different compared with someone else opinions.

I will try to describe myself from my own perspective. I am 1, 53 m and my weight is about 41 kg or 42 (actually, I am not quite sure about it, lol). In general we can say I am small, my Australian friend even called me economical size, hahahaha. I sometimes wonder why I didn’t look like my father’s family—most of them are tall, my auntie the smallest one is about 1, 65 m, while my father is 1, 79 m, he is quite tall for Asian size. Hmmm….I guess I more look like my mum, the small lady but she is great. I like to do exercise. My favourite sport is aerobic but I also enjoy walking and playing badminton. Nowadays, I also learn to swim.

Like most people I enjoy sunshine. I like lying on the beach enjoying sunrise and sunset. It feels so refreshing for me. I don't really like the cold but I won’t hesitate to climb the mountain which is usually rather cold. Travelling is one of my favourite hobbies and maybe you think I will search always for sunny destinations. Well, you are wrong; maybe I gave you this impression but I like to visit different countries if I have chance ^_^.

I grow up in a small village in central java, Indonesia which offers many paddies’ field view. My parents are not rich but they gave me the possibility to study until university. When I was sitting at fifth grade, I worked part time as an even organizer in my campus. I also sold t-shirts and books—those t-shirts and books were not mine, they were my friend’s stuff, I got fee from my friend if I success selling them. The next semester, I worked as a tour guide. I love this job because it’s made money and I can go travelling freely. My parents never asked me to do those jobs but I did it for myself—at least I can pay my own need.

Aside from travelling, music is also a part of my life. I play a guitar and I always love listening music. From childhood I was interested in different genres of music and it was a dream of me to meet all the cool musicians from the entire world. Thanks to God, I met some of them when I was working in Jakarta.

Some other hobbies of mine are going to galleries, musicals, theatre, watching movies, dancing, and I love to go outside for dinner. I also love outdoor activities. I enjoy discovering other cultures and it is difficult to say which countries I prefer. If I have the money maybe I’ll go to Europe, America, Australia, and other Asian countries….. (dream…..dream…dream….). But, before going to abroad I really want to visit some beautiful places in Indonesia that I never seen before such as Papua, Wakatobi Island, Belitung, Mentawai, Toraja, Toba Lake, Bunaken, NTT, and some other regions.