Saturday 8 May 2010

Di Emper Toko Ku Berlindung!

Matahari sedang teriknya bersinar di atas ubun-ubun kepala. Hiruk-pikuk kendaraan dari berbagai macam merek melintas bagai arak-arakkan yang tak ada hentinya. Di sebuah sudut trotoar di jalan Jenderal Soedirman Purwokerto nampak duduk seorang laki-laki tua dengan baju lusuhnya. 100 meter dari tempat Pak Tua duduk, berdiri megah sebuah swalayan papan atas di Kota Satria. Seperti hari-hari biasanya, banyak orang berbaju necis lalu-lalang meuju tempat belanja yang ber-AC itu. Tak jauh dari tempat itu juga berdiri komplek pertokoan simbol-simbol kemapanan di kota satria itu yang ramai pengunjung. Sementara di sudut trotoar dekat lampu merah itu, sang kakek hanya bisa memandang tanpa pernah mampu untuk ikut mencicipinya..

Lalu lalang berbagai macam kendaraan yang melintas di depannya tak membuat kakek tua ini bergeming dari duduk tenangnya. Sebuah kantong kain lusuh nampak tak jauh dari tempat duduknya. Matanya merah dan tak lagi bisa melihat dengan awas. Pendengarannya juga tak lagi berfungsi dengan baik. Tanpa alas dia duduk dengan tenang di trotoar yang kotor berdebu. Di tangannya tergenggam sebuah gelas plastik bekas tempat minuman.

Wajah keriputnya nampak kotor dengan debu. Kaos lorek dan celana panjang coklat kucel membalut tubuhnya yang kurus renta. Tangan keriputnya tak henti-hentinya bergerak, tentu bukan karena keinginannya, melainkan karena Parkinson yang dideritanya selama bertahun-tahun.

Pak tua itu adalah seorang pengemis...Yah, sebuah profesi yang terpaksa harus dia jalani demi bertahan hidup. Namanya Hartono, 70 tahun, kakek tua asal Pasir Muncang, Purwokerto ini terpaksa menjalani sebagian hidupnya dengan menjadi seorang pengemis. Kakek beranak satu ini, terpaksa menjadi seorang pengemis karena hidupnya yang kurang beruntung. Sewaktu muda ia ikut bekerja di tempat saudaranya di Kroya, Banyumas. Namun ia merasa kurang dimanusiakan di tempat saudaranya tersebut.

Meskipun bekerja, ia tidak mendapatkan haknya dengan layak. “Seg taksih nem, kula ngawula teng nggene sedereke, ning mboten tau diparingi arto. Kula namung diparingi maem kali ditumbasna pakaian sepisan setahun, niku mawon namung pas Bada”(Waktu masih muda, saya bekerja di tempat saudara, tapi saya hanya diberi makan dan pakaian sekali dalam setahun, itu saja pas lebaran) ujarnya. Ia tidak pernah mendapatkan bayaran atas kerja yang ia lakukan. Karena tidak kuat dengan perlakuan saudara kandungnya maka ia memutuskan untuk meninggalkan rumah saudara kandungnya tanpa pamit. Tujuannya hanya satu, mencari kehidupan yang lebih baik di kota.

Namun, tak semua impian bisa menjadi kenyataan. Tanpa keterampilan dan hanya bermodah ijasah SD membuatnya tak bisa meraih apa yang ia citakan. “Kula niki tiang bodo, wong sekolahe namung ngantos SD” (Saya ini hanya orang bodoh, sekolah saja cuma sampai SD), ucapnya sambil matanya menerawang ke langit.

Sementara hidup harus berjalan, kita perlu makan untuk hidup, atas dorongan itulah dia membuang rasa malunya dan memberanikan diri bekerja sebagai seorang pengemis. Sementara di rumah reotnya yang sekarang, Ajibarang, Purwokerto, istri dan anaknya bekerja sebagai pemulung. Mereka berangkat dari rumah semenjak pagi dan baru pulang ke rumah menjelang sore bahkan kadang sampai malam.

Ayah dari Sukardi ini mengatakan, setiap malam ia harus tidur di emperan toko yang dingin, karena tak ada tempat lain yang bisa ia gunakan untuk berlindung dari udara malam yang dingin. Pak tua ini pernah digarok oleh petugas pemerintah beberapa kali, namun tidak ada pelatihan ataupun pembinaan yang sekiranya bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. “Pas digarok nggih namung ditakeni asale pundi, trus diwangsulna teng asale kali disukani rames tigo bungkus”(Pas digarok cuma ditanya asalnya mana, trus dipulangkan ke tempat asal sambil diberi nasi tiga bungkus ), ujarnya dengan suara lirih.

Nasib serupa juga dialami oleh Mbok Ridem, 80 tahun perempuan tua asal Kauman Lama, Purwokerto ini terpksa menghabiskan sebagian hidupnya di emperan pertokoan. Tubuhnya yang renta dan tak lagi lurus harus berjuang melawan teriknya sinar matahari dan dinginnya air hujan yang kerap menghiasi hidupnya. Ibu dari tiga anak ini dulunya berjulan nasi bungkus keliling, namun karena saingan yang semakin hari semakin banyak dan tingginya harga barang-barang belanjaan yang semakin mencekik leher membuatnya harus tersisih sampai akhirnya ia menjadi seperti yang sekarang ini.Maklum ia hanya orang yang menjualkan nasi-nasi bungkus milik orang lain.

Hari itu nenek becucu 6 itu baru mendaptkan 5000 perak meskipun sudah duduk dari pagi, ia mengatakan ini hari yang sepi. Banyak orang-orang berpakaian necis melenggang di depannya namun sangat jarang yang mau bersedekah kepadanya. Nenek yang sudah cedal itu mengatakan dari pagi ia belum makan apapun. Jangankan untuk membeli minuman segar yang ada di depannya ia mampu, untuk ongkos pulang ke rumah saja rasanya tidak cukup.

Ketika ditanya mengenai harapannya pada pemerintah, istri dari Almarhum Nuradi ini mengatakan “Lah, kulo ta mboten ngarepna napa-napa”(Lah, saya tidak berharap apa-apa). Ucapan, mbok Ridem dan kek Hartono sama, mereka tidak mengharapkan apa-apa dari pemerintah, jangankan berharap, perhatian dan perlindungan yang seharusnya diberikan pemerintah pada orang-orang seperti merekapun tidak pernah mereka rasakan. “Lah, mboten wonten bantuan napa-napa saking pemerintah, malah sing sering namun digarok”, papar Kek Hartono dan Mbok Ridem.

No comments:

Post a Comment