Saturday 8 May 2010

Balada Sang Penulis

Nama lengkapnya Hernani Sirikit. Tapi lebih akrab disapa Sirikit Syah. Lahir di Surabaya, 28 Juli 1960 ia merupakan anak ke- 6 dari 7 bersaudara. Independen, begitulah salah satu penulis berbakat Indonesia ini menggambarkan dirinya.

Ia menyebut dirinya sebuah kombinasi antara intelektualitas yang diperoleh dari pendidikan dan pengalaman manca negara dengan tata krama dan budaya Jawa/Indonesia yang masih kental. “Saya kalau pidato pakai bahasa Inggris –saya sudah berceramah di empat benua- bahasa Inggris saya lancar tetapi beraksen Jawa alias medhok. Biasanya orang kalau ketemu saya bilang begini: ”Kok gak seperti tulisannya ya?” Maksudnya, tulisannya tajam, tapi orangnya lembut hehehe,” cerita Sirikit tentang dirinya.

Ibunya yang berpendidikan kelas tiga SD saja, merupakan anak petani dari Kediri. Sementara ayah kandungnya dari keluarga guru di Madiun, kemudian menjadi perwira angkatan laut dengan komunitas ‘borju’nya.

“Kata orang, ayah saya mendidik gadis desa tak berpendidikan (ibu saya): kursus menjahit, memasak, danda-dansi, membawa ke pergaulan tingkat atas, membelikan pakaian dan barang-barang perempuan lain yang indah dan mahal,” cerita Sirikit.

Kenangan indah tentang sosok sang ayah hanya didapat Sirikit dari cerita saja. Ibunya menjadi janda pada umur 29 tahun dengan tujuh anak. Kala itu Sirikit baru berusia 2,5 tahun. Bisa dibayangkan, seorang ibu muda harus mengurus ketujuh anaknya sendirian. “Jadi, saya tidak kenal ayah saya. Untungnya, almarhum ayah meninggalkan harta yang lumayan,” katanya.

Ibunya menjadi janda kaya. “Namun ibu memilih suami baru (papi tiri) yang tidak peduli pendidikan,” ujarnya yang bercerita bahwa ditambah 3 anak dari papi tiri plus 2 anak papi dan ibunya, keluarga Sirikit menjadi 12 orang. Sementara Kekayaan keluarga lama-lama habis.

Keluarga Sirikit tinggal di kawasan elite Surabaya. Meski begitu, kalau bersekolah, Sirikit ikut gerobag sapi yang lewat. Gerobag sapi itu dari Wonokromo ke Pelabuhan Kalimas, melewati ujung jalan rumah Sirikit dan sekolahnya. Gerobak itu mengangkut barang dagangan. “Kami nggandhol (numpang) di belakangnya,” ceritanya.

Ironi dialami Sirikit dan sudara-saudaranya. Mereka tak boleh bersekolah lagi setamat SMA. “Kalau ada yang kuliah, seperti saya, pasti yang membayar kakak yang sudah bekerja atau dapat beasiswa,” ungkapnya.

Saat kecil, Sirikit mengaku suka membaca komik di bawah meja makan (sembunyi). Menurutnya, ia tak pernah punya buku sampai usia 17 tahun. “Buku tak dikenal dalam keluarga kami ketika saya masih kecil,” ceritanya.

Hadiah ulangtahun ke-17 dari sahabatnya ”The Diary of Anne Frank” diaku sebagai buku koleksi pertamanya. Dan ketika akhirnya ia punya uang sendiri (memperoleh beasiswa semasa kuliah), Sirikit menjadi gila buku.

“Kini rumah saya memiliki sebuah perpustakaan pribadi yang koleksinya cukup membanggakan. Paling banyak tentang media & jurnalisme, sastra & budaya, filsafat, pendidikan, dll. Anak-anak saya limpahi buku-buku sejak mereka masih bayi,” ungkap ibu 2 anak ini sambil tersenyum.

Kurangnya perhatian orang tua soal pendidikan, tak membuat Sirikit menjadi pribadi yang kuncup. Dulu di bangku kuliah, wanita yang menempuh S1 di IKIP Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa Inggris ini adalah mahasiswa yang super aktif. Ia bisa mengarang (bahkan karangannya itu berhasil memenangkan beberapa lomba mahasiswa se-Indonesia), bisa menyanyi, bemain gitar, menari dan bermain drama.

Karena suka ‘ngamen’ (menyanyi atau membaca puisi di panggung), tak heran sewaktu mahasiswa ia menjadi sosok yang sangat terkenal tak hanya di kampus IKIP Surabaya tetapi juga di kampus-kampus lain. Selain kegiatan itu, Sirikit juga terkenal karena suka menulis artikel di koran.

Selesai S1, Sirikit bekerja sebagai reporter dan desk editor di Surabaya Post daily, Surabaya (1984-1990). Tahun 1992-1994 karirnya diawali menjadi reporter, produser, hingga akhirnya menjadi koordinator liputan untuk wilayah Indonesia Timur untuk SCTV dan RCTI (ketika kedua stasiun bersatu dalam program “Seputar Indonesia”), berbasis di Surabaya.

Pada 1990-1996 karirnya makin moncer. Ia menjadi reporter, script editor, coordinator liputan, prrodesur program berita dan asisten manager News Department di SCTV, berbasis di Surabaya. Lepas dari SCTV, menjadi koresponden freelance di The Jakarta Post Daily, berbasis di Surabaya, reporter magang di CNN, Washington D.C dan WHTV-5, Syracuse, NY, USA.

Otaknya yang encer serta keaktifannya di berbagai kegiatan pun berhasil mengantarkan Sirikit untuk menimba ilmu di luar negeri. Tahun 1994-1995, ia berkesempatan belajar tentang ‘American Culture and Communication’ di UCLA Davis, USA (Extension Class, Summer Program). Belajar di Public Communication School, bidang Broadcast Journallism, University of Syracuse, Syracuse, NY, USA (1994-1995). Tahun 2002, Sirikit berhasil meraih gelar Master Komunikasi di Westminster University, London, UK.

Pengalamannya di masa kecil, nampaknya melecut semangat Sirikit untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. “Soalnya, dulu dari 12 anak (Sirikit dan saudara-saudaranya) yang jadi sarjana tak sampai separuhnya. Jadi, saya tidak berasal dari keluarga berpendidikan atau beragama,” tuturnya.

Sirikit menyebut orantuanya abangan. Tak ada pelajaran mengaji atau salat di rumah. Sirikit kemudian menikahi lelaki dari keluarga yang taat beragama. Ia mengaku masih proses belajar dalam hal agama. “Pendidikan dan bacaan merupakan prioritas dalam keluarga baru saya. Anak-anak sudah kuliah, yang satu semester 6 Sastra Unair, satunya semester 2 Design ITS”, ceritanya.
Sementara soal papi tiri? Sirikit tak bisa bercerita. “If you cannot say something nice, don’t say it at all,” jelasnya.

Bakat Menulis
“Saya mulai menulis sejak SD, dimana saya membuat majalah dari buku tulis,” cerita Sirikit. “Majalah” itu berisi cerita mini, puisi, gambar kartun, dll. “Majalah” itu ia edarkan pada teman-temannya untuk dibaca bergantian sambil menunggu terbitnya majalah Si Kuncung.

Karena tak ada dorongan dari guru atau orangtua, bakat menulis tersebut mati pada tingkat SLTP. Di SMAN 5 Surabaya, Sirikit aktif lagi mengisi Media Siswa dan mendapat respons sangat bagus dari kawan-kawannya. Saat itu ia tambah bersemangat karena mendapat dorongan dari guru bahasa Indonesianya Pak Handoko. Kata Pak Handoko sekitar 30 tahun yang lalu: ”Sirikit, kalau kau teruskan menulis, kau akan menjadi penulis yang hebat.”

Bagi Sirikit dorongan Pak Handoko itu sangat berkesan. Di sinilah arti penting seorang guru: sebagai motivator. Di IKIP Negeri Surabaya, perempuan kelahiran Surabaya ini kembali menemukan inspirator, yaitu Pak Budi Darma (pengarang Olenka dan Orang-orang Bloomington, penerima penghargaan sastra Asean. “Dia terus memacu saya untuk berkarya”

Sisi Getir
“Ibu saya sudah meninggal dunia, juga papi tiri saya. Hal menyedihkan yang sering merisaukan saya adalah: mengapa saya tidak sempat mengenal ayah saya, yang kata orang-orang ’a real gentleman’; Mengapa ibu menikah lagi (tidak seperti ibu-ibu janda lain yang bekonsentrasi mengasuh anak-anaknya sampai jadi orang); Dan mengapa saya tidak pandai mengaji?”

Meski pertanyaan-pertanyaan tersebut merisaukannya, Sirikit mengaku selalu berpikir positif dan mendoakan ibunya. ”Kalau ibu saya tidak begitu dan hidup saya ketika muda sangat mulus, mungkin saya tidak menjadi Sirikit Syah seperti yang dikenal orang sekarang. Ibu membiarkan saya menjadi apa saja. Dengan tak adanya pengarahan dan pendidikan, saya justru bisa menjadi diri saya sendiri. Thanks to my mom, apapun kekurangannya.”

Sirikit mengaku mengagumi sosok ibunya yang mengasuh 12 anak dan selalu menyediakan makanan lengkap di meja makan tiga kali sehari. “Sekarang dengan dua anak saja, saya kadang luput menyiapkan makanan di meja,” ungkapnya tersenyum.

Aktivitas
Sekarang ini dalam sehari sedikitnya Sirikit berada 8 jam di depan komputer. Kadang bisa sampai 12 jam atau lebih. Ia membaca, merespons email, merancang (mengkonsep) pengembangan Klub Guru dan LKM Media Watch, menulis artikel untuk media massa, menterjemahkan, mengarang karya sendiri, dan tentu saja mengikuti perkembangan dunia media massa dan jurnalisme, pendidikan, kebudayaan di tanah air dan dunia pada umumnya.

Alasannya intens mengamati perkembangan berita yang ada karena tuntutan pekerjaannya sebagai pengamat media. “Saya harus tahu perkembangan teori dan praktik jurnalistik di dunia. Saya juga harus tahu bagaimana kebebasan pers ini memberi manfaat bagi rakyat Indonesia atau menimbulkan kasus-kasus yang menjadi tantangan dalam penerapan etika dan hukum media,” ujarnya.

“Sekarang saya tidak lagi menjadi wartawan,” ungkap Sirikit.
Sejak tahun 1999 dia mendirikan Lembaga Konsumen Media (Media Watch). Menurut Sirikit boleh dikatakan dialah yang pertamakali mendirikan organisasi pengawas media di Indonesia, juga yang menemukan istilah ”konsumen media” dan mempopulerkan kata ”media watch”.

Ia mengatakan, ketika dirinya mula-mula aktif di gerakan itu, semua orang media masih mabuk dengan kebebasan pers. “Saya sekian langkah di depan mereka. Waktu itu saya dimusuhi, dianggap aneh-aneh, ikut campur, nggembosi, dll. Namun dalam perjalanan waktu, justru masyarakat media sendiri yang menjadi pendukung utama saya, selain masyarakat konsumen dan masyarakat sumber berita,” ceritanya.

Menilai media massa telah berjalan baik dan jurnalisme juga makin meningkat kualitasnya, Sirikit mengaku agak beralih perhatian. Perhatiannyya sekarang di dunia pendidikan.

“Kami mendirikan Klub Guru, sebuah asosiasi guru independen. Pemikiran kami: bila politik sudah bebas, dan pers sudah bebas, pendidikan yang belum bebas/gratis (masih sagat mahal) menghadapi tantangan luar biasa. Harus ada yang peduli. Di tangan para gurulah bangsa kita dibentuk. Apa jadinya Indonesia 20-30 tahun lagi berada di tangan para guru masa kini?” ungkapnya.

1 comment: