Saturday 8 May 2010

Bemo Bertahan di Tengah Gerusan Zaman

Usianya hampir setengah abad. Namun kendaraan beroda tiga yang dikenal dengan becak motor (bemo), hingga kini masih hadir menyusuri sejumlah jalanan di ibu kota. Meski makin terpinggirkan, bemo mencoba bertahan di tengah moda transportasi kota Jakarta yang terus berkembang.

Kendaraan umum keluaran tahun ‘60an yang pertama kali diresmikan beroperasi sekitar tahun ‘71an oleh Pemda DKI ini mungkin identik dengan Jakarta. Di ibukota, bemo pernah berjaya di masanya sebagai kendaraan umum populer dan banyak digunakan orang dari berbagai kalangan. Namun seiring waktu, keberadaannya makin tersingkirkan. Bahkan di Bogor, kendaraan roda tiga ini oleh Pemda setempat sudah "dipensiunkan" sejak bulan Pebruari 2008.

Sebagian orang menganggap bemo akan punah digantikan angkutan umum yang baru seperti angkotan kota, bus, taksi, busway, kancil atau bajaj. Namun, umur kendaraan roda tiga yang awalnya didatangkan dari Jepang ini ternyata panjang.

Usia memang menyebabkan sebagian besar bemo tak lagi elok dilihat. Peyot, cat kusam, dempul di sana-sini adalah pemandangan yang lazim kita jumpai. Tapi itu tak jadi soal. Meski dengan suara cempreng, bemo masih kuat menampung tujuh orang penumpang. Enam orang duduk di bangku belakang, satunya di samping sopir.

“Saya berharap kendaraan ini akan terus eksis,” ujar Pak Aning, pengemudi bemo di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Bagi kakek 10 cucu yang kini berusia 60 tahun ini, bemo adalah bagian dari sejarah hidupnya. Lebih dari 40 tahun, ia menjadi sopir bemo dan hingga kini profesi tersebut masih dijalaninya.

Kakek asal Lewilyang, Bogor ini mengaku sempat merasakan masa kejayaan bemo sebagai moda transportasi di Jakarta. Tahun ‘70an, penumpang bemonya sangat banyak, bahkan dari berbagai kalangan. Dalam satu hari kerja, pendapatan bersih yang bisa dibawa pulang dirasa Pak Aning lebih daripada cukup. Ditambah lagi kemudahan sistem setoran kepada pemilik bemo. “Dulu setoran kepada pemilik bemo sistemnya bagi hasil. Jadi lebih meringankan kita. Beda dengan sekarang, yang ramai atau sepi penumpang tetap harus setor sekian rupiah tiap kali kita narik,” tuturnya.

Dari profesinya sebagai pengemudi bemo, Pak Aning dapat menyekolahkan anak-anaknya. Tapi kini, penghasilannya sebagai sopir bemo sudah jauh berkurang. Setelah taksi, bajaj, ojek, angkutan kota tambah banyak, ditambah lagi sekarang ada busway, pamor bemo makin redup. Trayek operasi bemo pun kian hari makin terbatas. Kini kendaraan roda tiga ini hanya beroperasi di trayek tertentu seperti di Benhil, Karet, Tanah Abang, Stasiun Jakarta Kota, Bendungan Hilir dan Grogol. “Yah, tapi bagi kami, mereka (tukang ojek, bajaj dan sopir kendaraan umum lainnya) sesungguhnya bukan saingan. Kan sama-sama cari makan,” ujar Pak Aning tentang pentingnya toleransi dan pengertian sesama pencari nafkah.

Menurut Pak Aning, menjadi sopir bemo juga sama seperti pengemudi angkutan umum lainnya. Ia dibebani berbagai setoran: untuk pemilik, uang parkir, dan biaya timer. Besarnya beragam, bergantung pada jauh dekatnya trayek yang dijalani. Misalnya, pengeluaran bemo yang beroperasi di Grogol, Jakarta Barat, berbeda dengan bemo yang ada di Benhil, atau di Tanah Abang.

Untuk Pak Aning, yang bemonya beroperasi di Grogol, Jakarta Barat, setiap hari ia harus setor ke pemilik sebesar Rp 40.000. Ongkos ngetem plus timer Rp 8. 000. Beli bensin campur, sehari rata-rata 7,5 liter. Jika penumpang sedang ramai, dari jam 6 pagi – 9 malam menarik bemo, Pak Aning mengaku setiap hari bisa mengantongi uang sekitar Rp30 ribu. “Tapi kalau sepi, paling hanya cukup buat makan saja,” ujarnya yang menyebut ongkos satu orang penumpang Rp 2.000.

“Sekarang, kalau dapat uang sebesar Rp 30.000 bersih per hari, itu sudah bagus,” tambahnya. Untuk menghemat pengeluaran, Pak Aning dan beberapa pengemudi bemo yang ditemui di Grogol, tiap malam tidur di bemonya. “Awalnya sih badan terasa sakit, tapi lama-kelamaan terbiasa juga. Yang penting beli obat nyamuk saja biar tak kena demam berdarah,” katanya tertawa.

Pak Aning dan kawan-kawannya tidak kos. Pakaian beberapa potong dan peralatan mandi, mereka simpan di bemo. “Untuk mandi dan mencuci, biasanya di kamar mandi umum dengan membayar Rp 1.000 rupiah sekali mandi atau mencuci,” ucap mereka kompak.

Jika sakit? Menurut Pak Aning dan kawan-kawannya, kalau hanya sekadar pusing atau masuk angin biasanya mereka tetap narik. Tapi kalau agak parah, biasanya mereka pergi ke dokter terdekat, langganan para pengemudi bemo. “Di Grogol sini, ada dokter baik hati yang mau mengobati kami secara cuma-cuma,” ceritanya.

Pak Aning dan kawan-kawan sesama pengemudi bemo merasa sangat bersyukur dengan keberadaan dokter tersebut. “Pendapatan dari menarik bemo sekarang ini kan sangat kecil, jadi peran dokter yang baik hati itu sangat membantu,” kata mereka yang mengaku tahu tempat praktek dokter itu, tapi sayang tak hafal namanya.

Menurut Pak Aning, jika ada pengemudi bemo yang sakit, kawan-kawan sesama pengemudi bemo biasanya akan mengumpulkan uang sukarela untuk membantu pengemudi yang sakit tersebut. “Jadi meski kami susah, kekeluargaan kalau bisa harus terjaga,” ujarnya.

Tak jauh dari tempat Pak Aning bicara, Pardi, pengemudi bemo asal Cirebon ini nampak sibuk di dalam bemonya. Wajah dan tubuh Fadli basal oleh keringat. Siang itu, bemonya mogok. Sudah setengah jam lebih diperbaiki tapi bemonya belum juga hidup.
“Ini ada mesin yang rusak,” ujar Pardi sambil mengutak-atik sebuah komponen bemo di kursi kemudi.

“Ini mogoknya agak lama. Padahal sejak subuh tadi, saya baru narik dua rit,” tambahnya yang menyebut jika hari itu, ia harus setor ke pemilik bemo Rp 40.000. Menurut Pardi, jika sampai sore bemonya tak bisa jalan, berarti dia harus merogoh koceknya untuk menutup uang setoran.

Layaknya benda tua, bemo kadang mudah rusak, jika tak terawat. Yang menelan biaya paling mahal adalah penggantian sumbu roda (as), yakni lebih dari Rp 220.000. Sementara untuk roda, paling tidak setahun sekali harus diganti.

Menurut Pardi, jika kerusakan bemonya ringan, biasanya sopir memperbaikinya sendiri. Tapi kalau kerusakannya berat, biasanya si pemilik bemo yang akan menanggung. Soal suku cadang bemo, kata ayah dua anak ini, bisa didapatkan di Grogol atau Tanah Abang.
Berkomentar soal penghasilan pengemudi bemo, Pardi sepakat dengan Pak Aning.

Menurutnya, sejak tahun ’97 penumpang bemo agak berkurang dibanding era sebelumnya. Dulu, sebelum banyak ojek, kredit motor murah, dan angkot, dalam sehari ia mengaku bisa mengantongi Rp 50. 000 – Rp 80.000 bersih. Dengan penghasilannya itu, ia mampu menyekolahkan dua orang anaknya, satu di SMA dan satu SD. Pardi makin bahagia, karena meskipun dirinya hanya seorang sopir bemo, anak pertamanya yang kini duduk di kelas satu SMA, nilai rapotnya selalu masuk 10 besar di sekolahnya.

“Kalau soal penghasilan, sekarang ini memang agak susah. Untuk mendapat Rp 40.000 per hari saja susahnya bukan main,” jelasnya.
“Untunglah istri saya di Cirebon sana bekerja sebagai penjahit. Jadi bisa bantu keuangan keluarga,” tambah Pardi.

Demi berhemat selama di Jakarta, pria yang sudah 10 tahun menjadi sopir bemo ini, kos satu kamar bersama dua orang temannya. “Biaya kos satu kamar Rp 250 ribu per bulan. Tapi jadi terasa lebih ringan karena dibagi dengan dua orang teman saya,” katanya.

Meski penghasilan sebagai pengemudi bemo kini jauh berkurang, namun ia mengaku akan tetap bertahan. Berbekal pendidikan yang hanya sampai SD, Pardi sadar akan sulit mendapatkan pekerjaan baru, jika berhenti jadi sopir bemo. Terlebih lagi, usianya sudah 42 tahun, jelas akan menjadi alasan. Beralih profesi jadi sopir angkot pun bukan hal mudah. “Setoran angkot per hari itu lebih dari Rp 130.000. Sulit bagi saya untuk mencapainya di tengah makin banyaknya angkot. Jadi selama bemo ini masih ada, saya akan tetap bekerja sebagai sopirnya,” ucapnya mantap.

Keinginan untuk bertahan sebagai pengemudi bemo juga diucapkan Haerul, 51 tahun. Bagi pria asal Betawi yang mengaku sudah jadi pengemudi bemo selama 30 tahun ini, kendaraan roda tiga ini banyak berjasa.

Dari penghasilan sebagai pengemudi bemo dibantu penghasilan istrinya yang bekerja sebagai penjahit di Slawi, Tegal, Jawa Tengah, ia mampu menyekolahkan ketujuh orang anaknya. Anaknya yang pertama dan kedua, bahkan dapat menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.

Bemo nampaknya meninggalkan kesan mendalam bagi sebagian warga ibu kota. Meski keberadaannya makin terpinggirkan oleh angkutan modern yang terus berkembang, masih adanya penumpang yang memilih bemo, menunjukkan keberadaan bemo sebagai salah satu moda transportasi yang masih dibutuhkan masyarakat. Suzan



.

No comments:

Post a Comment