Friday 15 October 2010

Cowok Agen



Baru ketemu sekali langsung disuruh nikah? Hah, yang benar saja?

Sekitar pukul sebelas pagi, minibus yang menjemputku dan rombongan turis-turis yang mengunjungi Bromo tiba di Probolinggo. Kami berhenti di depan bangunan oranye berukuran sekitar 5 X 5 meter. Di tempat inilah, kami akan diantarkan ke tempat tujuan masing-masing seperti ke Denpasar, Pantai Lovina, ataupun Yogyakarta. Dari lima belas orang penumpang, hanya aku yang berasal dari Indonesia dan satu-satunya yang akan menuju Jogja. Sementara penumpang lainnya akan pergi ke kawah Ijen dan Bali.

Semua rombonganku turun dari mobil dan mencari tempat duduk masing-masing. Waktu aku mau bergabung dengan mereka, seorang laki-laki berambut sebahu memanggilku. Dia memintaku duduk di depan meja informasi. Bagai lebah-lebah mengiring ratunya, sepuluh orang bule mengikutiku. “Lho, kok ikut masuk semua? I just called her, not you guys!” ucap pria itu sopan. Beberapa bule kemudian pergi dan duduk di teras. Hanya Stephen dan Nienke yang masih tetap mendampingiku.

Aku heran, kenapa cuma aku yang diminta ke dalam. “Ada apa ya mas?” tanyaku penasaran.

“Non, yang mau pulang ke Jogja kan?” ucap pria gondrong itu.
“Iyah” jawabku.
“Mobil yang akan ke Jogja berangkatnya pukul 6 sore, mba.”
“Hah! Pukul enam sore? Bagaimana bisa? Kemarin petugas hotel di Jogja mengatakan kalau saya akan kembali ke Jogja sekitar pukul 11 atau 12 siang?” ucapku berusaha tetap tenang.
“Permasalahannya adalah pihak hotel di Jogja kurang begitu paham dengan kondisi di sini. Mobil yang akan menjemput Non baru ada pukul 6 sore nanti. Lagian kalau Non berangkat sekarang, sampai Jogja bakalan tengah malam. Tapi, kalau berangkatnya sore, Non akan tiba di Jogja pagi hari. Non bisa istirahat di mobil,” tutur si pria itu berusaha meyakinkanku.

Aku benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa tidak ada koordinasi yang matang antara hotel tempatku menginap di Jogja dengan pihak tour di Probolinggo. Ini sangat menjengkelkan, apalagi besok aku harus masuk kerja. Arrrrrrggggghhhhhh….

“Mas, apa benar-benar tidak bisa diusahakan untuk tetap berangkat pukul 12 siang ini?” pintaku sedikit senewen.
“Sayang sekali Non, tidak bisa,” jawab si gondrong sambil terus berusaha meyakinkanku bahwa kembali ke Jogja pada pukul 6 sore adalah pilihan yang tepat.

Tak ingin bolos kerja, aku berinisiatif menggunakan bus umum. Tapi, aku sudah membayar paket Jogja-Bromo PP, lagipula perjalanan dengan kendaraan umum juga bakal lebih lama karena harus ke Surabaya dulu. Si gondrong mengatakan, perjalanan dari Probolinggo-Surabaya butuh waktu tiga jam. Sementara, Surabaya-Jogja sekitar sepuluh jam. Ah, terpaksalah aku bersedia pulang ke Jogja pukul enam sore, tapi dengan beberapa syarat; aku minta makan siang dan makan malam gratis.

Nienke dan Stephen yang sedari tadi duduk di belakangku menanyakan apa yang terjadi? Aku bilang waktu kepulanganku ditunda, tapi itu tidak terlalu jadi soal karena pihak tour bersedia memberikan kompensasi.

Pukul 11.30 WIB, mobil yang akan mengantar turis-turis ke Kawah Ijen datang. Stephen pun pamit. Tak lama berselang, bus jemputan ke Bali tiba. Nienke dan Floris, pacarnya mencium kedua pipiku sebelum masuk ke mobil. Semua turis sudah pergi, tinggal aku sendirian di sana.

Si gondrong mendekatiku dan bertanya apa makanan kesukaanku. Dua orang laki-laki, yang salah satunya ternyata pemilik tour itu tersenyum melihat usaha si gondrong. Si gondrong terus merayuku untuk pergi makan siang bersamanya. Dia bahkan mengajakku jalan-jalan keliling objek wisata di Probolinggo. Aku menolak ajakannya untuk makan siang ataupun berkeliling Probolinggo naik motor. Badanku rasanya sudah sangat lelah, belum mandi, dan mengantuk menjadi alasanku. Lagipula aku memang tak ingin pergi makan berduaan dengannya.

“Kalau mau traktir aku makan siang, ya beliin aja. Aku tidak usah ikut ke rumah makan,” ucapku yang membuat si gondrong tampak kecewa.
“Aku memang lapar, tadi aku juga sangat mengantuk karena semalam hanya tidur dua jam. Aku butuh tempat beristirahat dan mandi,” kataku kembali. Si gondrong tampaknya mengerti dan kemudian menawarkan tempat beristirahat di rumah bosnya.

“Kalau kamu butuh tempat istirahat, kamu bisa tidur di rumaku,” ucap bos tour mengamini usulan si gondrong. Aku agak ragu dan terdiam ketika pemilik tour kembali bertanya, “Kamu takut diperkosa yah? Kalau kamu takut, aku malah seneng. Tapi kalau kamu ndak takut, aku yang malah takut,” ucapnya berkelakar yang kontan saja membuat si gondrong dan satu orang temannya tertawa terbahak-bahak.

“Bos ini masih bujangan, jadi ndak usah takut diapa-apain. Lagian di rumahnya ada bapak dan ibunya. Kamu tenang aja. Kami memang senang bercanda,” ucap teman si gondrong.

Entah karena rasa kantuk yang hebat atau memang semi nekat, aku akhirnya menerima tawaran si bos tour. Pria bertinggi badan sekitar 173 cm dan berkulit kuning langsat itu segera menstater motornya. Kamipun melesat menyusuri jalanan kota Probolinggo. Di depan sebuah rumah makan padang, kami berhenti. Ia mentraktirku makan siang. Selesai makan, kami melanjutkan perjalan.

Laju motor makin pelan ketika memasuki bangunan bertembok keliling. Di dalam bangunan kotak itu, ternyata berdiri kokoh dua buah rumah; satu terlihat sudah lama dihuni dan satunya tampak masih baru. Di depan beranda rumah baru, kami berhenti. “Ini rumah saya, silakan masuk,” ujar pemilik tour yang biasa dipanggil Anto.

Rumah baru itu berlantai keramik. Satu bangku panjang dan sebuah meja tertata rapi di beranda rumah. Saat memasuki ruang tamu, kulihat beberapa kaligrafi ayat-ayat al-Quran tergantung indah pada dinding rumah bercat putih itu.Saat aku tengah melihat kaligrafi cantik tersebut, Anto masuk ke dalam salah satu kamar dan menyalakan lampu. Selesai itu, ia kembali ke ruang tamu menemuiku.

“Kalau kamu mau mandi, itu tempatnya,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah kamar di ujung ruangan. “Nah, kalau ingin beristirahat, silakan ke kamar ini,” ujarnya sambil menunjuk ke kamar yang ada di depan ruang tamu.
“Silakan anggap rumah sendiri. Saya mau pergi ke kantor lagi. Nanti sore, baru saya jemput kamu,” ujar Anto sebelum meninggalkan rumah.
“Okay. Terima kasih yah,” jawabku.

Setelah Anto pergi, aku langsung terlelap di atas kasur yang empuk. Pukul setengah lima sore aku bangun dan bergegas mandi. Badanku terasa segar dan kembali bugar. Aku siap menempuh 10 jam perjalanan ke Jogja. Setelah berkemas-kemas dan rapi, aku duduk di beranda menunggu Anto menjemputku.

Saat itulah muncul seorang perempuan setengah baya. Kurasa ia salah satu kerabat Anto, mungkin ibunya. Ia menyapaku ramah. “Anak ayu ini siapa yah?” ucapnya sambil mendekatiku.

Aku langsung menerangkan bahwa diriku salah satu penumpang travel yang ikut beristirahat di rumah Anto karena mobil jemputanku baru ada pukul enam sore. Si ibu tampak mahfum. Sambil berjalan ke samping rumah, ia mempersilakanku bersantai kembali.

Lima belas menit sudah aku menunggu Anto, tapi dia belum menunjukkan tanda-tanda akan datang. Aku pikir dia lupa sehingga kuputuskan untuk mengirim sms ke sopir yang mengantarku ke Bromo. Namun, belum lama usai kumengirim sms, si bos tour itu datang. Aku segera berdiri dan berniat menenteng ranselku ketika seorang bapak dan ibu yang tadi berbicara denganku menyambut Anto.Mereka bertiga kemudian bercakap-cakap dalam bahasa daerah yang tak kumengerti.

Anto mendekatiku. “Tunggu ya San, aku ada urusan sebentar,” ujarnya seraya menyetarter motor. Ia pergi, sementara bapak dan ibu yang tadi berbincang dengannya masih duduk di samping rumah. Mereka melemparkan senyum padaku.

Tak berapa lama berselang, Anto datang. Usai berpamitan dengan mereka, kamipun meluncur menuju kantor tour. Di tengah perjalanan, Anto membuka suara. Ia terdengar agak berhati-hati saat bertanya. “San, kamu sudah punya pacar belum?” tanyanya malu-malu.

Karena kukira ia hanya ingin mencairkan suasana, kujawab saja sekenanya. “Belum”
Anto tersenyum mendengarnya.

“Kamu tau tidak, apa yang tadi ibuku katakan? Dia menyuruh kita menikah soalnya aku tidak pernah membawa gadis ke rumah. Kamulah perempuan pertama yang kuajak ke rumahku,” ujar Anto membuatku agak kaget.
“Hah, yang benar saja? Kita kan baru kenal,” ucapku berusaha menetralkan suasana.
“Iyah, aku tahu. Tapi kata ibuku kamu terlihat baik dan toh kita bisa saling mengenal terlebih dahulu kan?” kata Anto berusaha meyakinkanku.
“Maaf Mas Anto, tapi rasanya itu aneh. Kita belum mengenal pribadi masing-masing dan saya belum tahu kapan bisa balik ke tempat ini lagi” jawabku sopan.

Kami akhirnya sampai di kantor Anto. Turun dari motor, aku langsung menuju bangku panjang yang ada di teras. Aku duduk di sana. Tak berapa lama, sebuah bus dari Surabaya berhenti di seberang jalan. Seorang gadis bermata sipit membawa ransel ukuran sedang turun dan berjalan ke arahku.

“Are you going to Bromo?”, ujar si gadis menyapaku.
“No, I am going to Jogja,” jawabku sambil mempersilakannya duduk di sampingku.
Gadis itu berasal dari Toronto, Kanada. Namanya Xiang. Ia akan mendaki Bromo. Saat aku dan Xiang tengah berbincang-bincang, Anto mendekatiku. Ia mengajakku makan malam di sebuah restoran tak jauh dari kantornya.

“Terima kasih atas tawarannya mas, tapi saya belum lapar. Lagian mobil yang akan ke Jogja sebentar lagi datang,” ucapku menolak tawaran Anto dengan halus.
Meski terlihat agak sedikit kecewa, Anto tampaknya bisa menerima keputusanku. “San, meski kita baru pertama bertemu, tapi aku pasti akan kangen padamu,” ucapnya. “Bolehkah, aku meminta nomer handphone-mu? Kalau suatu saat nanti kamu berkunjung ke Bromo, jangan ragu untuk menghubungiku,” pintanya. Akupun setuju dan memberikan nomerku sebagai tanda persahabatan.

Mobil jemputan yang akan mengantarku ke Jogja datang tepat pukul enam sore. Aku berpamitan dengan Xiang dan Anto. Wajah Anto terlihat agak muram saat menjabat tanganku. Lambaian tanganpun mengantarkan kepergianku ke Jogja. Selamat tinggal Bromo, suatu saat aku pasti akan kembali…

3 comments:

  1. jiyahhhh,,,duh klo aku sih mau2nya tuwh,,biar cinta tumbuh dengan adanya :) hahahhahaha,,,,

    ReplyDelete
  2. seru crta na....
    mba,,.jd gmn mba skrg,,msih dkt ma ,mas anto????

    ReplyDelete